Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 09 April 2010

TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP PORNOGRFI DAN PORNOAKSI

TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
TERHADAP PORNOGRFI DAN PORNOAKSI
Oleh Fery Aguswijaya
(Guru IPA MTs Negeri 1 Palembang)
Tahun 2006

A. Pendahuluan

Maraknya pornografi dan pornoaksi di negara ini telah berlangsung cukup lama, terutama sejak munculnya stasiun TV swasta, yang menjadikan beragam acara yang ditayangkan pada media TV, melalui iklan,senetron, dan film dengan mengkemas pornografi dan pornoaksi yang diselubungi seni, padahal sudah ada UU No. 32/2002 tentang penyiaran. Pada akhir-akhir ini, lebih mencuat lagi dengan akan beredarnya (dan sekarang telah beredar) majalah play boy dalam edisi Indonesia. Kondisi ini menunjukkan bahwa pornografi dan pornoaksi adalah sebuah komoditi yang dapat memberi keuntungan, khususnya bagi media masa yang berorientasi bisnis. Padahal media (elektronik dan cetak) secara idealnya sebagai kontrol sosial dan sebagai media pendidikan bagi masyarakat, namun dari fenomena tersebut media tidak lebih dari mesin bisnis yang berorientasi keuntungan. Menurut DR Fajar Junaedi bahwa “Dunia media yang telah “menggila” dengan sajian tontonan tersebut, sedangkan masyarakat kita pada dasarnya belum siap, membuat mereka menjadi gagap dan ingin meniru.”(Suara Muhammadiyah, No. 4, 2006).
Ketika RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) kembali dibahas di DPR-RI, mengundang pro-kontra dari berbagai kalangan. “Sebenarnya RUU APP ini merupakan agenda bangsa yang tertunda sejak sembilan tahun yang lalu. Alasan penundaannya tidak begitu jelas”.(Kompas, 25-02-2006). Yang jelas pembahasan RUU tersebut, karena bangsa ini membutuhkan tata aturan untuk mengatasi problematic dekadensi moral yang telah terjadi di dalam masyarakat Indonesia saat ini, singkat nya fenomena pornografi dan pornoaksi di negara ini telah marak hingga kebagian yang paling pelosoknya, dengan arus yang sudah sulit dibendung dan tidak mengenal waktu dan tempat. Namun terjadinya pro dan kontra terhadap RUU APP ini adalah hal yang logis karena Indonesia negara yang multicultural, ethnis, dan kepercayaan atau agama. Hal ini jelas memungkin munculnya perbedaan cara pandang dengan standar nilai dan norma yang dipahami secara individual dan kelompoknya masing-masing.
Mereka yang menolak seperti kelompok seniman, artis, dan budayawan, dengan melontarkan alasan kelasik sebagai dasar penolakannya yaitu pornografi dan pornoaksi tidak jelas batasannya. Kaum seniman terhadap sebuah karya seni dan estetika tidak diukur dengan moral karena memiliki nilai sendiri, dampak negatif sebuah seni tergantung apa yang terdapat dalam benak pikiran, jika dipandang secara estetika maka akan muncul aura keindahan. Bagi kaum budayawan menolak RUU APP dengan alasan disintegrasi bangsa, sehingga “perlu penundaan pembahasan dan pengesahan RUU APP, karena RUU ini tidak masuk akal, sebab mengandung banyak kelemahan, terutama pada persoalan definisi”(Kompas, 25-02-2006)
Adapun yang menerima, mereka dari kelompok kaum moralis dan agamis, yang memiliki pandangan terhadap RUU tersebut berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma agama serta moral, bahwa telah merosotnya moral dan nilai-nilai agama dalam kehidupan bangsa ini, sehingga mereka mendesak agar RUU tersebut segera dimatangkan menjadi UU dan dapat dioperasikan menjadi salah satu instrumen penyelamat moral, jiwa, dan nilai-nilai luhur agama serta bangsa.
Terlepas dari pihak pro atau kontra, Islam memiliki landasan berfikir yang jelas antara kebaikan dan kebathilan, antara akhlaq al- Karimah dan kemungkaran, dan termasuklah antara keindahan dan pornografi ataupun pornoaksi. Oleh katrena itu tulisan sederhana ini mencoba mengakaji fenomena ponografi dan pornoaksi dalam kacamata pendidikan khususnya dalam pendidikan Islam melalui analisis filsafat pendidikan Islam. Sebagai awal pembahasan akan dikaji terlebih dahulu tentang konsep dasar pornografi dan pornoaksi, untuk memperjelas definisinya yang selalu dipersoalkan dalam setiap pendapat yang menolak.

B. Tinjauan terhadap Definisi Pornografi dan Pornoaksi
Salah satu persoalan terhadap substansi RUU APP yang menjadi keberatan menurut Myra Diarsi adalah definisi tentang pornografi dan pornoaksi yang tidak jelas, sebab mencampur adaukan ponografi, seksual, kecabulan, dan erotica. Serta tidak mengandung perlindungan. Namun sebenarnya mereka sepakat anti pornografi dan pornoaksi. (www.Kompas, com). Agar tidak salah duga terhadap pendapat tersebut ada baiknya dengan melihatnya dimulai dari etimologi, bahwa ‘porno’ berasal dari kata Yunani, yaitu ‘porne’ yang berarti ‘pelacur’ (Ensiklopedia Nasional Indonesia,1990). Adapun grafi berasal dari kata graphien yang berarti gambar, lukisan, atau menulis karya. Jadi kata pornogrfi dapat diartikan gambaran, lukisan atau karya tulis yang berhubungan dengan prilaku dan kehidupan pelacur. Dalam bahasa Inggris, pornography yaitu cabul, atau gambar porno (Echols dan Shadily, 2000). Dengan mengacu arti di atas, maka pornoaksi dapat diartikan sebagai perbuatan cabul atau porno. Kata cabul dalam bahasa Indonesia berarti tidak senonoh, menyalahi kesusilaan, kotor, gelap, buruk, kurang ajar, jahat, tidak enak dilihat dan didengar.(W.J.S. Porwadarminta et.al). Berdasarkan tinjauan bahasa tersebut jelas definisi pornografi dan pornoaksi yang tertuang dalan RUU APP pada pasa1 dan 2 mengandung makna yang jelas, sebagai berikut:
“Pasal 1 berbunyi ; pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan /atau erotik. Pasal 2 berbunyi : pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotik di muka umum.
Pasal 4 isinya : Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto,dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa. Selanjutnya pasal 25 ayat 1 isinya : setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual.
Penjelasan pasal 4, yang dimaksud dengan bagian tubuh yang sensual antara lain adalah alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya.” (www. Kompas, com).

Untuk lebih memperjelas makna tersebut di atas, menurut Partini dosen sosiologi UGM, bahwa pornografi mengandung empat unsur, (1), menyangkut alat vital, (2) mengandung unsur perangsangan, (3) mengekspos perangsangan, dan (4) mengandung unsur rangsangan seks itu sendiri. Dan yang lebih rinci lagi dari kesimpulan para dewan juri pengadilan federal Amerika Serikat pada tahun 1973 dalam peristiwa Paris Adult Theatre IV, pornografi mengandung tiga unsur, yaitu: (1) materi yang berupaya untuk kepentingan birahi, (2) materi yang merangsang standar masyarakat, dan (3) materi yang tidak mengandung nilai-nilai sosial. Dengan demikian setiap perbuatan atau pun tulisan yang bermaterikan untuk membangkitkan dan pemenuhan (perangsangan) terhadap alat vital untuk kepentingan birahi (seksual), yang melampaui standar-standar nilai dan norma dalam masyarakat merupakan kategori pornografi dan pornoaksi. Perangsangan yang demikian itu menjadikan “kenikmatan”, tetapi mengarah pada kondisi yang tidak baik secara moral, melanggar kesusilaan, kotor, dan tidak enak dilihat dan didengar. Artinya kehadiran RUU APP untuk disahkan menjadi UU adalah salah satu kebutuhan yang akan menjamin perlindungan terhadap harkat dan martabat bangsa, baik pria maupun wanita khususnya, anak-anak ataupun dewasa.
Uraian tersebut menunjukkan pornografi dan pornoaksi berhubungan erat dengan kehidupan sosial terutama pada nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, yang berimbas terhadap proses pembentukan akhlaq dan moral, baik secara pribadi maupun kelompok. Dan kita ketahui pula bahwa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan terdapat nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya bangsa yang tidak dapat bersesuaian dengan pornografi dan pornoaksi. Adapun yang paling utama adalah nilai-nilai tersebut yang akan diwariskan melalui proses pendidikan. Mulai dari pendidikan dalam keluarga, masyarakat, dan di dalam lembaga institusi-institusi formal, yang akan membina dan mengembangkan potensi sumberdaya manusia ( generasi masa depan yang berkualitas dan akhlaq ).

C. Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Islam mengandung nilai-nilai ajaran yang jelas, karena bersifat pasti tanpa mengandung keraguan sedikitpun serta memiliki kebenaran mutlak, yang mengantarkan manusia yang meyakininya (mukmin) mencapai kenikmatan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Islam telah memiliki kejelasan standar dalam setiap berprilaku yaitu kemaslahatan umat. Jika prilaku tersebut penuh dengan nilai kemudaratan (berdampak buruk) bagi kelangsungan hidup umat (sosial kemasyarakatan) maka prilaku itu tidak patut untuk dikembangkan, dan patutlah (wajib) untuk dicegah keberadaanya. Pornografi dan pornoaksi dalam Islam berhubungan dengan perintah untuk menjaga aurat, yang tercermin dalam firman Allah dalam ak-Qur’an surat an-Nur ayat 30 dan 31, sebagai berikut:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkkan perhiasanya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,...,”(Depag, 2000 : 283)

Jadi dalam ajaran Islam baik pria maupun wanita masing-masing mereka yang beriman harus menahan pandangan dan menutup aurat, dengan menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian dan memanjangkan kerudungnya hingga sampai batas dada (menurut Ibnu Abbas, anggota badan yang biasa terlihat adalah muka dan telapak tangan) bagi wanita. Adapun untuk pria sebagaimana sabda Nabi SAW bahwa “Aurat laki-laki antara pusat dan lutut.”(al-Hadits).
Selanjutnya bagi perempuan tidak boleh menunjukkan perhiasanya yaitu bagian-bagian tubuh yang dapat menarik syahwat bagi laki-laki yang melihatnya, menurut Prof. Dr. Med. S.J. Warrou dalam bukunya “Love Without Fear” menyatakan bahwa “umunya sifat jasmani wanita yang amat menarik adalah; paha, batis, kaki, kulit licin, rambut yang bagus dan lain-lain.”(Kasijan, 1982 : 27). Sedangkan Hamka menyatakan dalam Tafsir al-Azharnya bahwa seluruh tubuh wanita itu adalah aurat dalam artian dapat menimbulkan nafsu syahwat bagi orang yang melihatnya. Oleh karena itu sangatlah indah dan bermakna kata-kata “yaghdudna min absharihinna wa yahfazhna furujahunna”(peliharalah kemaluanmu dan tidak memperlihatkan perhiasanmu) bagi wanita, ini suatu ketegasan bahwa wanita tidak patut untuk ikut menjadi bahan obyekan dalam arena pornografi dan pornoaksi. Karena hal ini adalah pengeksploitasian potensi tubuh wanita (berupa sex appeal dan nafsu exshibisionisme ) yang hanya berorientasi bisnis dan perhitungan keuntungan belaka, tanpa mempertimbangkan harkat dan martabat diri wanita selaku manusia yang memiliki hak untuk dilindungi secara adil. Dengan demikian Islam secara tegas menolak pornografi dan pornoaksi, karena bukan keindahan yang disajikan tapi prilaku tidak bermoral dan kemungkaran yang dapat mempengaruhi prilaku-prilaku kehidupan sosial, diantaranya adalah proses pembentukan akhlak dalam pendidikan. Mengutip pernyataan Hamka bahwa “jika bagian-bagian tubuh wanita yang tidak tertutup dibuat sedemikian rupa, sehingga tampak lebih menggiurkan, maka pintu-pintu ‘neraka’ telah bertebaran di atas dunia sekarang” (Ibid)
Islam memiliki kejelasan tentang keindahan, karena Sang Pencipta Yang Maha indah mejelaskan dalam surat al-‘Araf ayat 31, 32 dan 33, bermakna secara bebasnya bahwa perhiasaan atau keindahan (ziinatakum) meliputi segala bentuk yang indah, baik itu keindahan yang diciptakan Allah (ziinatallah) atau pun buatan manusia adalah untuk manusia selaku kholifah Allah di muka bumi. Keindahan dalam penciptaan Allah berupa indahnya alam semesta. Keindahan perhiasan berupa emas dan perak, halusnya bahan dan pantasnya berbagai mode pakaian yang dikenakan oleh kaum wanita; sedangkan keindahan dalam arti yang diciptakan oleh manusia telah melahirkan seni. Kesenian dalam Islam telah melahirkan berbagai bentuk seperti seni bangunan, seni lukis, seni musik, seni sastra, dan sebagainya. Tujuan dari pada penghayatan atas keindahan tersebut dalam Islam adalah untuk lebih mempertebal iman dan memperindah akhlaq dengan menghindari dan menjauhi segala bentuk kekejian, dosa, dan aniaya, menuju kesempurnaan taqwa.
Pornografi yang berupa tulisan, gambar, atau film yang berbau cabul dan pornoaksi yang menunjukan tindakan porno atau cabul, jelas-jelas berdampak pada perbuatan yang keji, dosa dan aniaya, sedikitpun tidak mengandung nilai-nilai positif yang layak diwariskan dalam kehidupan sosial pada proses pendidikan, bahkan dapat merusak tatanan kehidupan bangsa yang beradap karena hal itu lebih mengarahkan manusia untuk mendekati zina. Ajaran Islam jelas terhadap zina yaitu laataqrobuzina (jangan mendekati zina). Pengaruhnya saat ini telah terjadi, karena menurut Crow and Crow (1956) dalam bukunya “Human Development and learning”, bahwa di Amerika umpamanya dalam penelitian dan pengembangan studi-studi psikologi, telah begitu banyaknya memproduksi film-film cultural edukatif untuk kepentingan studi perkembvangan dan pendidikan anak.(Kasijan, 1982 : 35). Maksudnya film, gambar, tulisan dan prilaku merupakan media komunikasi dalam pendidikan yang sangat efektif, maka dari itu pornografi dan pornoaksi dapat menjadi alat yang efektif dalam membentuk prilaku akhlag yang buruk terhadap tingkah laku anak atau manusia pada umumnya.
Misi Islam yang sebenarnya, ialah pengarahan manusia mencapai nilai-nilai derajat kemanusiaan yang luhur, yang sesuai dengan kemuliaan manusia, yaitu memiliki akhlaq yang mulia dan bersikap luhur sesuai dengan kemuliaan manusia sebagai khalifah di bumi.(Sayid Sabiq, 1981 : 40). Kemudian untuk mewujudkanya adalah melalui proses pendidikan Islam, dituangkan dalam tujuan pendidikan Islam yang merupakan eqiuvalen dengan tujuan eksistensi penciptaan manusia yaitu pengabdian totalitas kepada Allah (QS, 51 : 56 , 6 : 162). Artinya proses yang akan terbentuk dalam pendidikan Islam sosok insan kamil, yang menurut Islam muslim yang sempurna ialah muslim yang jasmaninya sehat dan kuat, akalnya cerdas serta pandai, dan hatinya taqwa kepada Allah. (Ahmad Tafsir, 2005 : 51). Manusia yang taqwa jelas dalam dirinya akan terbentuk akhlaq yang mulia, karena ia akan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, menurut Sayid Sabiq (1981 : 46) bahwa, “dengan perangkat pendidikan agama (Islam) adalah perangkat yang paling tepat untuk membangun (menegakkan) akhlaq dan sekaligus memperbaiki akhlaq itu sendiri “.
Dari tinjauan tersebut, bahwa fenomena pornogrfi dan pornoaksi adalah suatu tantangan yang harus dihadapi oleh pendidikan Islam, karena akan mengancam dan bahkan menghancurkan akhlaq dan moral bangsa khususnya para generasi penurus bangsa dengan gambaran dekadensi terhadap nilai-nilai akhlaq dan moral, yang berupa penyimpangan (anomaly) pandangan hidup beradab dan berbudaya kepada kebebasan hidup yang tanpa aturan-aturan nilai yang mulia (agama). Dan dari perspektif filsafat pendidikan Islam ini pula, maka pendidikan Islam akan berperan sebagai central pembangunan manusia seutuhnya, yang menyaring (filterisasi) terhadap pengaruh-pengaruh yang timbul dari maraknya pornografi dan pornoaksi baik secara moral, sosial dan budaya, dengan berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Yang harus dikembangkan dalam proses pendidikan keluarga, masyarakat, dan institusi-institusi formal.



Referensi

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, CV. Diponegoro, 2000
Echols, M dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000
Kasijan. Z. Drs, Tinjauan Psikologis Larangan Mendekati Zina Dalam Al-Qr’an, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1982

Ninuk Mardiana Pambudy, RUU AAP Menagapa Menimbulkan Penolakan, http/www.kompas.com/kompas-cetak/25-02-06

Sabiq Sayid, Unsur-Unsur Dinamika Dalam Islam, (terjemahan oleh Drs. Haryono S. Yusuf), Jakarta, PT. Intermasa, 1981

Suara Muhammadiyah, Umat Islam Harus Jadi Filter, No.4, TH. Ke-91, edisi 16-28 Pebruari 2006

Tafsir, Ahmad, Metodik Khusus Pendidikan Agama Isla, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005

W.J.S. Porwadarninta. Et.al. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, tt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar