Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 09 April 2010

TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP PORNOGRFI DAN PORNOAKSI

TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
TERHADAP PORNOGRFI DAN PORNOAKSI
Oleh Fery Aguswijaya
(Guru IPA MTs Negeri 1 Palembang)
Tahun 2006

A. Pendahuluan

Maraknya pornografi dan pornoaksi di negara ini telah berlangsung cukup lama, terutama sejak munculnya stasiun TV swasta, yang menjadikan beragam acara yang ditayangkan pada media TV, melalui iklan,senetron, dan film dengan mengkemas pornografi dan pornoaksi yang diselubungi seni, padahal sudah ada UU No. 32/2002 tentang penyiaran. Pada akhir-akhir ini, lebih mencuat lagi dengan akan beredarnya (dan sekarang telah beredar) majalah play boy dalam edisi Indonesia. Kondisi ini menunjukkan bahwa pornografi dan pornoaksi adalah sebuah komoditi yang dapat memberi keuntungan, khususnya bagi media masa yang berorientasi bisnis. Padahal media (elektronik dan cetak) secara idealnya sebagai kontrol sosial dan sebagai media pendidikan bagi masyarakat, namun dari fenomena tersebut media tidak lebih dari mesin bisnis yang berorientasi keuntungan. Menurut DR Fajar Junaedi bahwa “Dunia media yang telah “menggila” dengan sajian tontonan tersebut, sedangkan masyarakat kita pada dasarnya belum siap, membuat mereka menjadi gagap dan ingin meniru.”(Suara Muhammadiyah, No. 4, 2006).
Ketika RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) kembali dibahas di DPR-RI, mengundang pro-kontra dari berbagai kalangan. “Sebenarnya RUU APP ini merupakan agenda bangsa yang tertunda sejak sembilan tahun yang lalu. Alasan penundaannya tidak begitu jelas”.(Kompas, 25-02-2006). Yang jelas pembahasan RUU tersebut, karena bangsa ini membutuhkan tata aturan untuk mengatasi problematic dekadensi moral yang telah terjadi di dalam masyarakat Indonesia saat ini, singkat nya fenomena pornografi dan pornoaksi di negara ini telah marak hingga kebagian yang paling pelosoknya, dengan arus yang sudah sulit dibendung dan tidak mengenal waktu dan tempat. Namun terjadinya pro dan kontra terhadap RUU APP ini adalah hal yang logis karena Indonesia negara yang multicultural, ethnis, dan kepercayaan atau agama. Hal ini jelas memungkin munculnya perbedaan cara pandang dengan standar nilai dan norma yang dipahami secara individual dan kelompoknya masing-masing.
Mereka yang menolak seperti kelompok seniman, artis, dan budayawan, dengan melontarkan alasan kelasik sebagai dasar penolakannya yaitu pornografi dan pornoaksi tidak jelas batasannya. Kaum seniman terhadap sebuah karya seni dan estetika tidak diukur dengan moral karena memiliki nilai sendiri, dampak negatif sebuah seni tergantung apa yang terdapat dalam benak pikiran, jika dipandang secara estetika maka akan muncul aura keindahan. Bagi kaum budayawan menolak RUU APP dengan alasan disintegrasi bangsa, sehingga “perlu penundaan pembahasan dan pengesahan RUU APP, karena RUU ini tidak masuk akal, sebab mengandung banyak kelemahan, terutama pada persoalan definisi”(Kompas, 25-02-2006)
Adapun yang menerima, mereka dari kelompok kaum moralis dan agamis, yang memiliki pandangan terhadap RUU tersebut berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma agama serta moral, bahwa telah merosotnya moral dan nilai-nilai agama dalam kehidupan bangsa ini, sehingga mereka mendesak agar RUU tersebut segera dimatangkan menjadi UU dan dapat dioperasikan menjadi salah satu instrumen penyelamat moral, jiwa, dan nilai-nilai luhur agama serta bangsa.
Terlepas dari pihak pro atau kontra, Islam memiliki landasan berfikir yang jelas antara kebaikan dan kebathilan, antara akhlaq al- Karimah dan kemungkaran, dan termasuklah antara keindahan dan pornografi ataupun pornoaksi. Oleh katrena itu tulisan sederhana ini mencoba mengakaji fenomena ponografi dan pornoaksi dalam kacamata pendidikan khususnya dalam pendidikan Islam melalui analisis filsafat pendidikan Islam. Sebagai awal pembahasan akan dikaji terlebih dahulu tentang konsep dasar pornografi dan pornoaksi, untuk memperjelas definisinya yang selalu dipersoalkan dalam setiap pendapat yang menolak.

B. Tinjauan terhadap Definisi Pornografi dan Pornoaksi
Salah satu persoalan terhadap substansi RUU APP yang menjadi keberatan menurut Myra Diarsi adalah definisi tentang pornografi dan pornoaksi yang tidak jelas, sebab mencampur adaukan ponografi, seksual, kecabulan, dan erotica. Serta tidak mengandung perlindungan. Namun sebenarnya mereka sepakat anti pornografi dan pornoaksi. (www.Kompas, com). Agar tidak salah duga terhadap pendapat tersebut ada baiknya dengan melihatnya dimulai dari etimologi, bahwa ‘porno’ berasal dari kata Yunani, yaitu ‘porne’ yang berarti ‘pelacur’ (Ensiklopedia Nasional Indonesia,1990). Adapun grafi berasal dari kata graphien yang berarti gambar, lukisan, atau menulis karya. Jadi kata pornogrfi dapat diartikan gambaran, lukisan atau karya tulis yang berhubungan dengan prilaku dan kehidupan pelacur. Dalam bahasa Inggris, pornography yaitu cabul, atau gambar porno (Echols dan Shadily, 2000). Dengan mengacu arti di atas, maka pornoaksi dapat diartikan sebagai perbuatan cabul atau porno. Kata cabul dalam bahasa Indonesia berarti tidak senonoh, menyalahi kesusilaan, kotor, gelap, buruk, kurang ajar, jahat, tidak enak dilihat dan didengar.(W.J.S. Porwadarminta et.al). Berdasarkan tinjauan bahasa tersebut jelas definisi pornografi dan pornoaksi yang tertuang dalan RUU APP pada pasa1 dan 2 mengandung makna yang jelas, sebagai berikut:
“Pasal 1 berbunyi ; pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan /atau erotik. Pasal 2 berbunyi : pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotik di muka umum.
Pasal 4 isinya : Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto,dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa. Selanjutnya pasal 25 ayat 1 isinya : setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual.
Penjelasan pasal 4, yang dimaksud dengan bagian tubuh yang sensual antara lain adalah alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya.” (www. Kompas, com).

Untuk lebih memperjelas makna tersebut di atas, menurut Partini dosen sosiologi UGM, bahwa pornografi mengandung empat unsur, (1), menyangkut alat vital, (2) mengandung unsur perangsangan, (3) mengekspos perangsangan, dan (4) mengandung unsur rangsangan seks itu sendiri. Dan yang lebih rinci lagi dari kesimpulan para dewan juri pengadilan federal Amerika Serikat pada tahun 1973 dalam peristiwa Paris Adult Theatre IV, pornografi mengandung tiga unsur, yaitu: (1) materi yang berupaya untuk kepentingan birahi, (2) materi yang merangsang standar masyarakat, dan (3) materi yang tidak mengandung nilai-nilai sosial. Dengan demikian setiap perbuatan atau pun tulisan yang bermaterikan untuk membangkitkan dan pemenuhan (perangsangan) terhadap alat vital untuk kepentingan birahi (seksual), yang melampaui standar-standar nilai dan norma dalam masyarakat merupakan kategori pornografi dan pornoaksi. Perangsangan yang demikian itu menjadikan “kenikmatan”, tetapi mengarah pada kondisi yang tidak baik secara moral, melanggar kesusilaan, kotor, dan tidak enak dilihat dan didengar. Artinya kehadiran RUU APP untuk disahkan menjadi UU adalah salah satu kebutuhan yang akan menjamin perlindungan terhadap harkat dan martabat bangsa, baik pria maupun wanita khususnya, anak-anak ataupun dewasa.
Uraian tersebut menunjukkan pornografi dan pornoaksi berhubungan erat dengan kehidupan sosial terutama pada nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, yang berimbas terhadap proses pembentukan akhlaq dan moral, baik secara pribadi maupun kelompok. Dan kita ketahui pula bahwa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan terdapat nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya bangsa yang tidak dapat bersesuaian dengan pornografi dan pornoaksi. Adapun yang paling utama adalah nilai-nilai tersebut yang akan diwariskan melalui proses pendidikan. Mulai dari pendidikan dalam keluarga, masyarakat, dan di dalam lembaga institusi-institusi formal, yang akan membina dan mengembangkan potensi sumberdaya manusia ( generasi masa depan yang berkualitas dan akhlaq ).

C. Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Islam mengandung nilai-nilai ajaran yang jelas, karena bersifat pasti tanpa mengandung keraguan sedikitpun serta memiliki kebenaran mutlak, yang mengantarkan manusia yang meyakininya (mukmin) mencapai kenikmatan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Islam telah memiliki kejelasan standar dalam setiap berprilaku yaitu kemaslahatan umat. Jika prilaku tersebut penuh dengan nilai kemudaratan (berdampak buruk) bagi kelangsungan hidup umat (sosial kemasyarakatan) maka prilaku itu tidak patut untuk dikembangkan, dan patutlah (wajib) untuk dicegah keberadaanya. Pornografi dan pornoaksi dalam Islam berhubungan dengan perintah untuk menjaga aurat, yang tercermin dalam firman Allah dalam ak-Qur’an surat an-Nur ayat 30 dan 31, sebagai berikut:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkkan perhiasanya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,...,”(Depag, 2000 : 283)

Jadi dalam ajaran Islam baik pria maupun wanita masing-masing mereka yang beriman harus menahan pandangan dan menutup aurat, dengan menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian dan memanjangkan kerudungnya hingga sampai batas dada (menurut Ibnu Abbas, anggota badan yang biasa terlihat adalah muka dan telapak tangan) bagi wanita. Adapun untuk pria sebagaimana sabda Nabi SAW bahwa “Aurat laki-laki antara pusat dan lutut.”(al-Hadits).
Selanjutnya bagi perempuan tidak boleh menunjukkan perhiasanya yaitu bagian-bagian tubuh yang dapat menarik syahwat bagi laki-laki yang melihatnya, menurut Prof. Dr. Med. S.J. Warrou dalam bukunya “Love Without Fear” menyatakan bahwa “umunya sifat jasmani wanita yang amat menarik adalah; paha, batis, kaki, kulit licin, rambut yang bagus dan lain-lain.”(Kasijan, 1982 : 27). Sedangkan Hamka menyatakan dalam Tafsir al-Azharnya bahwa seluruh tubuh wanita itu adalah aurat dalam artian dapat menimbulkan nafsu syahwat bagi orang yang melihatnya. Oleh karena itu sangatlah indah dan bermakna kata-kata “yaghdudna min absharihinna wa yahfazhna furujahunna”(peliharalah kemaluanmu dan tidak memperlihatkan perhiasanmu) bagi wanita, ini suatu ketegasan bahwa wanita tidak patut untuk ikut menjadi bahan obyekan dalam arena pornografi dan pornoaksi. Karena hal ini adalah pengeksploitasian potensi tubuh wanita (berupa sex appeal dan nafsu exshibisionisme ) yang hanya berorientasi bisnis dan perhitungan keuntungan belaka, tanpa mempertimbangkan harkat dan martabat diri wanita selaku manusia yang memiliki hak untuk dilindungi secara adil. Dengan demikian Islam secara tegas menolak pornografi dan pornoaksi, karena bukan keindahan yang disajikan tapi prilaku tidak bermoral dan kemungkaran yang dapat mempengaruhi prilaku-prilaku kehidupan sosial, diantaranya adalah proses pembentukan akhlak dalam pendidikan. Mengutip pernyataan Hamka bahwa “jika bagian-bagian tubuh wanita yang tidak tertutup dibuat sedemikian rupa, sehingga tampak lebih menggiurkan, maka pintu-pintu ‘neraka’ telah bertebaran di atas dunia sekarang” (Ibid)
Islam memiliki kejelasan tentang keindahan, karena Sang Pencipta Yang Maha indah mejelaskan dalam surat al-‘Araf ayat 31, 32 dan 33, bermakna secara bebasnya bahwa perhiasaan atau keindahan (ziinatakum) meliputi segala bentuk yang indah, baik itu keindahan yang diciptakan Allah (ziinatallah) atau pun buatan manusia adalah untuk manusia selaku kholifah Allah di muka bumi. Keindahan dalam penciptaan Allah berupa indahnya alam semesta. Keindahan perhiasan berupa emas dan perak, halusnya bahan dan pantasnya berbagai mode pakaian yang dikenakan oleh kaum wanita; sedangkan keindahan dalam arti yang diciptakan oleh manusia telah melahirkan seni. Kesenian dalam Islam telah melahirkan berbagai bentuk seperti seni bangunan, seni lukis, seni musik, seni sastra, dan sebagainya. Tujuan dari pada penghayatan atas keindahan tersebut dalam Islam adalah untuk lebih mempertebal iman dan memperindah akhlaq dengan menghindari dan menjauhi segala bentuk kekejian, dosa, dan aniaya, menuju kesempurnaan taqwa.
Pornografi yang berupa tulisan, gambar, atau film yang berbau cabul dan pornoaksi yang menunjukan tindakan porno atau cabul, jelas-jelas berdampak pada perbuatan yang keji, dosa dan aniaya, sedikitpun tidak mengandung nilai-nilai positif yang layak diwariskan dalam kehidupan sosial pada proses pendidikan, bahkan dapat merusak tatanan kehidupan bangsa yang beradap karena hal itu lebih mengarahkan manusia untuk mendekati zina. Ajaran Islam jelas terhadap zina yaitu laataqrobuzina (jangan mendekati zina). Pengaruhnya saat ini telah terjadi, karena menurut Crow and Crow (1956) dalam bukunya “Human Development and learning”, bahwa di Amerika umpamanya dalam penelitian dan pengembangan studi-studi psikologi, telah begitu banyaknya memproduksi film-film cultural edukatif untuk kepentingan studi perkembvangan dan pendidikan anak.(Kasijan, 1982 : 35). Maksudnya film, gambar, tulisan dan prilaku merupakan media komunikasi dalam pendidikan yang sangat efektif, maka dari itu pornografi dan pornoaksi dapat menjadi alat yang efektif dalam membentuk prilaku akhlag yang buruk terhadap tingkah laku anak atau manusia pada umumnya.
Misi Islam yang sebenarnya, ialah pengarahan manusia mencapai nilai-nilai derajat kemanusiaan yang luhur, yang sesuai dengan kemuliaan manusia, yaitu memiliki akhlaq yang mulia dan bersikap luhur sesuai dengan kemuliaan manusia sebagai khalifah di bumi.(Sayid Sabiq, 1981 : 40). Kemudian untuk mewujudkanya adalah melalui proses pendidikan Islam, dituangkan dalam tujuan pendidikan Islam yang merupakan eqiuvalen dengan tujuan eksistensi penciptaan manusia yaitu pengabdian totalitas kepada Allah (QS, 51 : 56 , 6 : 162). Artinya proses yang akan terbentuk dalam pendidikan Islam sosok insan kamil, yang menurut Islam muslim yang sempurna ialah muslim yang jasmaninya sehat dan kuat, akalnya cerdas serta pandai, dan hatinya taqwa kepada Allah. (Ahmad Tafsir, 2005 : 51). Manusia yang taqwa jelas dalam dirinya akan terbentuk akhlaq yang mulia, karena ia akan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, menurut Sayid Sabiq (1981 : 46) bahwa, “dengan perangkat pendidikan agama (Islam) adalah perangkat yang paling tepat untuk membangun (menegakkan) akhlaq dan sekaligus memperbaiki akhlaq itu sendiri “.
Dari tinjauan tersebut, bahwa fenomena pornogrfi dan pornoaksi adalah suatu tantangan yang harus dihadapi oleh pendidikan Islam, karena akan mengancam dan bahkan menghancurkan akhlaq dan moral bangsa khususnya para generasi penurus bangsa dengan gambaran dekadensi terhadap nilai-nilai akhlaq dan moral, yang berupa penyimpangan (anomaly) pandangan hidup beradab dan berbudaya kepada kebebasan hidup yang tanpa aturan-aturan nilai yang mulia (agama). Dan dari perspektif filsafat pendidikan Islam ini pula, maka pendidikan Islam akan berperan sebagai central pembangunan manusia seutuhnya, yang menyaring (filterisasi) terhadap pengaruh-pengaruh yang timbul dari maraknya pornografi dan pornoaksi baik secara moral, sosial dan budaya, dengan berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Yang harus dikembangkan dalam proses pendidikan keluarga, masyarakat, dan institusi-institusi formal.



Referensi

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, CV. Diponegoro, 2000
Echols, M dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000
Kasijan. Z. Drs, Tinjauan Psikologis Larangan Mendekati Zina Dalam Al-Qr’an, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1982

Ninuk Mardiana Pambudy, RUU AAP Menagapa Menimbulkan Penolakan, http/www.kompas.com/kompas-cetak/25-02-06

Sabiq Sayid, Unsur-Unsur Dinamika Dalam Islam, (terjemahan oleh Drs. Haryono S. Yusuf), Jakarta, PT. Intermasa, 1981

Suara Muhammadiyah, Umat Islam Harus Jadi Filter, No.4, TH. Ke-91, edisi 16-28 Pebruari 2006

Tafsir, Ahmad, Metodik Khusus Pendidikan Agama Isla, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005

W.J.S. Porwadarninta. Et.al. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, tt

FENOMENA PENDIDIKAN MADRASAH


FENOMENA MADRASAH DI INDONESIA

( Analisis Historis, Tantangan, dan Prospek Keberadaanya

dalam Sistem Pendidkan Nasional)

Oleh: Fery Aguswijaya

(Guru MTs Negeri 1 Palembang)

Tahun 2006

 

A. Pendahuluan

         Kemajuan dan kekuatan suatu bangsa bukan terletak pada melimpahnya kekayaan dan seberapa hebatnya kecanggihan alat –alat kerja yang dimilikinya. Tetapi terletak pada kualitas sumberdaya manusia yang dimilikinya, dengan SDM  yang berkualitaslah dapat mengelola dan memanfaatkan kekayaan dengan sebaik-baiknya, serta dengan SDM berkualitas pula yang dapat menjalankan dan menciptakan alat-alat itu. Agar terciptanya SDM berkualitas proses yang harus dilakukan adalah dengan pendidikan, proses ini akan menumbuh kembangkan potensi-potensi pribadi manusia sehingga menucul sosok yang profesional. Karena pendidikan merupakan kebutuhan pokok (basic needs) manusia dalam menjalani proses kehidupannya dan menentukan tingkat kedudukannya diantara sesamanya, dan oleh sebab itu, sudah menjadi keharusan adanya proses pemerataan kesempatan pendidikan (education for all) menyentuh diseluruh lapisan masyarakat. Proses pembangunan pemerataan kesempatan pendidikan ini pada akhirnya menimbulkan ledakan pendidikan (education explosion), dan efeknya memberikan peningkatan mutu secara signifikan dalam pengembangan sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Oleh karena itu penyelengaraan pendidikan di Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang tidak lain meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia seutuhnya sebagai modal dasar pembangunan.

        Tapi  perlu menjadi perhatian kita akan kondisi dunia pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Berdasarkan data yang disajikan dalam Human Development Report 2000, pendidikan di Indonesia berada ditingkat 109 dari 174 negara yang diteliti profil pendidikannya oleh UNICEF. Ini berarti bahwa Indonesia berada dalam “Medium Human Development” atau berada pada peringkat tengah dalam hal pengembangan sumbardaya manusia. Selanjutnya Prof.DR.Ir.Zuhal, M.Sc. EE, mengatakan indikasi lain ketertinggalan Indonesia, dapat pula diukur berdasarkan kriteria Technology Achievement Index yang membagi negara-negara di dunia menjadi empat kelompok, yaitu ; pertama kelompok Technology Inovator Countries yang beranggotakan 18 negara (AS, Jepang, dan negara-negara Eropa Barat) ), kedua kelompok Technology Implementor Countries yang mencakup negara yang bisa memproduksi barang atau inovasi meskipun baru bisa (Malaysia), sedang Indonesia masuk kelompok ketiga yakni Technology Adaptor Countries, merupakan kelompok negara yang baru bisa mengadopsi teknologi belum ke implementasi luas, dan ironisnya berada pada pringkat ke 60 dari 63 negara dalam kelompok ini, dan keempat kelompok Marginalized Countries. (Zuhal, 2005 : 3)

         Problematik mutu pendidikan di atas jelas menjadi perhatian yang serius bagi kita, apalagi di era yang mengalami proses globalisasi dan AFTA yang bersifat internasionalisasi serta universalitas menuntut kita untuk memperbaiki mutu hasil pendidikan (Out put School Quality). Kondisi ini mempengaruhi prosedur, dan orientasi kebijakan-kebijakan dalam dunia pendidikan, diantaranya pola pengelolaan dan orientasi program-program pendidkan serta sarana dan prasarana pendidikan, yang pada akhirnya pendidikan akan menjadi ajang kerjasama (bermitra), sekaligus sebagai arena persaingan bebas. Dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan, baik dilihat dari aspek kuantitatif maupun kualitatif. secara nasional pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan, seperti ; perubahan dan penyempurnaan kurikulum, penataan undang-undang dan peraturan tentang pendidikan, peningkatan angka partisipasi belajar anak usia sekolah, penambahan alokasi anggaran pendidikan, pengembangan konsep manajemen berbasis sekolah, dan peningkatan pendidkan dan profesionalitas guru.

           Hal tersebut berarti menuntut adanya lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola dengan professional agar dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan kuat, serta dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan pasaran kerja (marketable) sehingga menjadi pilhan dan kebutuhan masyarakat, untuk terus  eksis di masa mendatang. Sebaliknya, lembaga-lembaga pendidikan yang tidak dikelola secara professional berangsur-angsur akan ditinggalkan masyarakat, maka akan tergilas dalam kompetisi mutu, berhenti lalu tutup (bubar).

            Salah satu lembaga pendidikan di Indonesia adalah Madrasah, yang hingga kini masih mengalami problematic dalam pengembangan dan peningkatan mutu proses pendidikannya, karena “madarasah hanyalah menjadi pelaksana program yang direncanakan dan diputuskan oleh pusat (DEPAG)”( : 17). Walaupun sekarang sedang gencar-gencarnya program otonomisasi daerah termasuk dunia pendidikan hal ini menurut Prof.DR, Ahmad Rofiq,MA membuat “otonomi pendidikan tidak banyak berpengaruh terhadap perkembengan Madrasah”(Ibid : 21). Apalagi madrasah dipandang sebagai lembaga pendidikan kelas dua. Bahkan sering dipandang sebelah mata, padahal lembaga ini memiliki potensi yang besar terhadap perkembangan sejarah dan kemajuan di Indonesia.

          Melalui pengalaman penulis selaku praktisi di dunia pendididkan madrasah dan informasi dari beberapa tulisan tentang madrasah Adapun secara rinci permasalahan dan kelemahan madrasah adalah sebagai berikut :

1.    Secara structural pola kebijakan penyelenggaraan madrasah cendrung bersifat sentralistik mulai dari sistem pengelolaan lembaga sampai pada teknis pengelolaan pembelajaran. Sentralistik ini menunjukkan pada kebijakan-kebijakan Depertemen Agama yang mengikat dan kurang aspiratif.

2.    Secara menejerial, sistem pengangkatan kepala madrasah sebagai pengelola madarasah belum secara professional hanya dasar kedekatan antar interpersonal tanpa melalui proses secara sistematik.

3.    Secara finansial, perhatian pemerintah belum optimal terhadap pengembangan  madarsah (termasuk Pemerintah Daerah kurang peduli)

4.    Secara potensial, pemberdayaan peranserta masyarakat masih terbatas pada dukungan financial (sekarang semakin rendah) dalam bentuk uang komite, sedangkan  potensi-potensi lain belum tergarap dengan baik. Misalnya pengembangan kemitraan. Hal ini menunjukan rendahnya partisipatif dan tingkat kepercayaan stakeholders.

5.    Secara profesionalisasi edukasi, madarasah masih banyak guru yang mengajar tidak sesuai denga spesifikasi keilmuannya (mis Match), hal ini sekaligus menggambarkan rendahnya kualitas SDM di Madrasah

6.    Belum dimilikinya organisasi yang mengkhususkan pada perjuangan memperbaiki kondisi madrasah (mungkin saat ini LPM (lembaga pengembangan Madrasah) belum kelihatan trobosannya).

7.    Mutu hasil pendidikan yang masih rendah dibandingkan mutu hasil pendidikan sekolah umum, disamping kurang marketable terhadap lapangan pekerjaan atau kebutuhan masyarakat.

 

          Berdasrkan identifikasi permasalahan di atas, mau tidak mau madrasah harus berbenah dengan mencari model pembaharuan yang sinergi terhadap tantangan globalisasi dan menjawab permasalahan tersebut.  Apalagi lembaga ini secara sosial banyak dibentuk dan dikelola oleh lembaga sosial keagamaan pada umat muslim Indonesia (berstatus swasta) dan hanya sebagian kecil saja madrasah dikelola oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Agama (berstatus negeri), yang pasti perimbangan jumlah ini juga menimbulkan permasalahan dalam segi pengelolaan terutama pada kebanyak madrasah swasta dengan lebel tidak memenuhi standar pengelolaan (menejemen) yang professional. Akibatnya kondisi ini membuat madrasah semakin termarginalkan dari lembaga pendidikan umum. Belum lagi dilema madrasah hingga kini sebagai lembaga pendidikan Islam adalah menghadapi pilihan yang tidak mudah, yaitu antara kebutuhan keagamaan (ukhrawi) dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam. Sementara di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didiknya dalam ilmu-ilmu umum yang merupakan bagian yang harus dipenuhi sebagai kebutuhan hidup. Tentu saja dilema ini menuntut madrasah mencetak hasil didikannya yang memiliki  karakteristik berbeda (bahkan seharusnya bernilai plus) dengan keluaran hasil didikan non madrasah. Namun kenyataanya berbicara lain antara siswa madrasah dengan siswa non madrasah menunjukan karakteristik sama (malah cenderung merosot), hal ini juga akan mempengaruhi minat pilihan orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada madrasah (fenomena ini terutama di perkotaan).

            Dari permasalahan yang melilit madrasah tersebut, ditengah geliat reformasi bangsa ini dan mulai terbangunnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, khususnya  mobitas peningkatan mutu pendidikan, madrasah pun bangkit dari tidur ketertinggalan dan melangkah untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut. “Departemen agama mencoba pembaharuan dengan mengembangkan bermacam strategi, seperti membentuk madrasah unggulan, madrasah terpadu, madrasah terbuka, madrasah aliyah program ketrampilan, madrasah aliyah keagamaan dan lain-lain.” (Imam Suparyogo, Jurnal Edukasi, vol. 3. 2005, hal : 8). Walaupun demikian usaha tersebut tetap memiliki nilai tersendiri, tetapi dari perkembangan yang terjadi tetap menimbulkan pertanyaan, bagaimana eksistensi madrasah dimasa yang akan datang, tantangan apa saja yang diahadapi terhadap prospek pendidikan di madrasah, akankah madrasah menjadi pendidikan yang maju dan diminati. Inilah yang melatar belakangi penulisan ini, yang diawali dengan analisis histories madarsah di Indonesia.    Mengutip Peter F. Drucker (dalam Wiyokusumo, 1982 : 7) mengatakan bahwa “There are no underdeveloped countries,there are only undermanaged ones” (tidak ada negara terbelakang yang ada hanyalah negera-negara yang tidak ditangani dengan baik). Maka tidak salah jika kta berfikir pula bahwa there are no underdeveloped Islamic education institute (Madrasah), there are anly under managed ones ( tidak ada lembaga pendidikan Islam (madrasah) yang terbelakang, yang ada hanyalah madrasah-madrasah yang tidak dikelola dengan baik).(Fakhruddin, Conciencia, vol. 2, 2002, hal : 90)

 

B. Madrasah dalam Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia

1.   Sejarah Madrasah dalam Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia

 

           Dalam dunia pendidikan Islam, madrasah dibentuk awalnya mengajarkan  berbagai pengetahuan keagamaan, melatih pengalaman dalam ajaran-ajaran Islam, termasuk praktek ibadah, muamalah, serta akhlaq. Dan pada periode awal ini madrasah tidak mengenal kategorisasi ataupun polarisasi ilmu pengetahuan, sehingga tidak ada persoalan dikotomi ilmu, semua ilmu pengetahuan dipandang sebagai bagian dari ilmu-ilmu Islam, dan dikembangkan oleh ulama’ yang integritas keislamannya tidak diragukan. Menurut Imam Suparyogo bahwa al-Ghazalilah yang kemudian membuat perbedaan ilmu-ilmu keislaman (ulumuddin) dan ilmu-ilmu umum, dengan menekankan bahwa mempelajari ilmu-ilmu agama hukumnya fardlu ‘ain, sedangkan mempelajari ilmu-ilmu umum hukumnya fardlu kifayah.(Edukasi, 2005, vol. 3, hal : 9)

          Madrasah mulai didirikan pada abad ka lima Hijriyah, yang paling dikenal dalam sejarah, yaitu pada masa Nizham Al-Muluk dari khalifah Bani Saljuk mendirikan madrasah Nizhamiyah di Baghdad pada tahun 495 Hiriyah (1067 Masehi), tetapi menurut penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Hasan Ibrahim Hasan dan Richard Bulliet, bahwa eksistensi madrasah-madrasah lebih tua berada pada kawasan Nishapur, Iran. Pada sekitar tahun 400 H/ 1009 M terdapat madrasah di wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum madrasah Nizham al-Mulk, dan yang tertua Mdrasah Miyan Dahiya yang didirikan oleh Abu Ishaq Ibrahim Ibn Mahmud di Nishapur.( Azyumardi Azra, 2002 : x ). Perkembangan  selanjutnya diikuti pertumbuhan madrasah diberbagai wilayah lain di Timur Tengah. Madrasah ketika itu merupakan bentuk pendidikan tinggi Islam, yang didukung oleh koleksi literature Islam dibawah asuhan ulama terkemuka diantaranya Imam al-Ghazali (w.1111).((Nurhayati Djamas, Edukasi, 2005,vol.3,hal: 24)

          Pada masa pertumbuhannya madrasah merupakan lembaga kajian ilmiah (tadarus al-‘ilm), yang bercorak inklusif,bebas, dinamis, dan progresif, oleh karena itu pada masanya  madrasah merupakan lembaga yang memiliki reputasi yang gemilang, dengan melahirkan ulama’ dan ilmuwan besar yang menjadi central kemajuan peradaban dunia selama + 10 abad (merujuk pada masa kejayaan Islam).

          Sejak di bukanya terusan Suez pada 1869, banyak pelajar Indonesia yang mengikuti pendidikan di Mekkah (Timur Tengah) dan kemudian mengembangkannya di tanah air. (Ikhwanuddin dan Dodo M (editor), 2002 : 407-408).Dengan demikian madrasah merupakan lembaga yang diadopsi dari kebudayaan Islam yang memiliki fungsi bukan saja tempat pendidikan tapi juga tempat kajian ilmiah yang mengembangkan berbagai ilmu dan ijtihad (pemikiran) tentang masalah-masalah keislaman. Dan background ini berbeda dengan pertumbuhan madrasah di Indonesia hanya sebutan sebuah sekolah yang bercirikan khas Islam, yang hanya diperuntukan untuk jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Adapun menurut Mastuki, hingga saat ini tidak diketahui secara persis sejak kapan “madrasah” sebagai satu jenis pendidikan Islam digunakan di Indonesia. Namun jika yang dimaksud adalah madrasah sebagai satu sistem pendidikan Islam “berkelas” dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu agama dan non-keagamaan, sudah nampak sejak abad ke – 20. (Mastuki: www, bagais. Co. id).

        Menurut DR. Masykuri Abdilah, pada tahun 1905 sejumlah ulama memperkenalkan sistem “madrasah”, yakni dengan penerapan sistem klasikal sesuai dengan sistem Barat, dan sekaligus sebagian mereka bahkan memperkenalkan ilmu pengetahuan umum. (Ibid. 408). Sistem madrasah ini muncul sebagai akibat realitas politik pada zaman kolonial, karena dalam bahasa yang lebih sederhana madrasah dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan. Yang berarti pengaruh Timur Tengah hanyalah salah satu factor selain perkembangan sosial-politik di tanah air pada saat itu.  Lebih rinci lagi sebagaimana yang dikemukakan Husni Rahim (2002), bahwa eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia berasal dari proses interaksi misi Islam dengan tiga kondisi, pertama, interaksi Islam dengan budaya local-pra Islam-telah melahirkan pesantren, meskipun ini dipandang controversial, tetapi kelembagaan ini tidak terlepas dari proses akulturasi Islam dengan budaya asli (indigenous). Kedua, interaksi misi pendidikan Islam dengan tradisi Timur Tengah modern telah menghasilkan madrasah. Ketiga, interaksi Islam dengan politik pendidikan Hindia Belanda telah membuahkan Lembaga sekolah Islam. Artinya inspirator dari madrasah berbeda dengan sekolah Islam, yakni satu dari lulusan Timur Tengah dan yang satu lagi dari gerakan yang kooperatif dengan pendidikan ala Belanda.  

           Model sekolah yang disediakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk rakyat Indonesia pada awalnya terbatas pada kalangan bangsawan, berupa sekolah kelas satu yakni Hollands Inlandsche school (HIS) dan sekolah kelas dua yakni Standard School, yang diselenggarakan dengan tujuan mencetak pegawai-pegawai pemerintah. Selanjutnya akibat perkembangan di wilayah Asia pada khususnya dan negara-negara jajahan, Belanda pun mengembangakan sistem “Sekolah Rakyat” atau “Sekolah Desa” (Volkschoolen) untuk rakyat pribumi secara luas dengan biaya yang murah, dipertengahan abad ke 19. Hal ini menyebabkan lembaga pendidikan tradisional (pesantren, surau, langgar, atau masjid) mendapat sangaingan secara langsung. Karena sekolah tersebut selain biayanya murah dengan mata pelajaran yang lebih praktis, juga menjanjikan pekerjaan yang bervariasi walaupun pada tingkat rendahan. Hal ini terlihat dari animo masyarakat kala itu adalah menjadikan sekolah ala Belanda ini menjadi alternatif pilahan. Pada tahun 1871 terdapat 263 SD dengan jumlah siswa sekitar 16.606 orang , tahun 1892 menjadi 515 SD dengan jumlah siswa 52.685 orang. Dan pada tahun 1910 mencapai 70.000 orang, sampai pada tahun 1914 mencapai 200.000 orang. Pada tahun ini pula pemerintah Belanda mengembangkan pendidikan lanjutan yaitu MULO (Meer Unigebreid Lager Onderwijs) dan AMS.(Mastki, www, bagais. Co.id) Lembaga pendidikan tersebut (HIS, MULO, dan AMS) adalah cikal bakal dari SD, SLTP, dan SLTA hingga saat ini.

         Perkembangan yang pesat tersebut, merespon kalangan umat Islam, apalagi kebijakan saat itu dirasakan umat Islam masih sangat diskriminatif terhadap anak-anak muslim, yang mempersempit peluang mereka masuk pada sekolah-sekolah itu. Yang akhirnya menumbuhkan kesadaran untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam yang tradisional agar lebih maju, mulai dari kelembagaan, struktur materi, maupun metodologinya, dalam rangka mengimbangi sekolah ala Belanda tersebut.

         Realisasi awal dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan Islam modern, atas dasar ide pembaharuan madrasah Timur tengah juga mengadopsi sistem pendidikan ala Belanda. Sebgai pemrakarsa pertama adalah organisasi-organisasi “modernis” Islam seperti Jami’at Khair, al-Irsyad, dan Muhammadiyah, yang kemudian gerakan ini diikuti oleh NU, Persis, PUI, al-Washliyah, dan Perti, dengan corak masing-masing, dan semua ini menandakan babak baru perkembangan pendidikan Islam. Menurut Mastuki, gagasan modernisasi pendidikan Islam tersebut memiliki dua kecenderungan. Pertama, mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (ala Belanda) secara menyeluruh, yang melahirkan sekolah umum tetapi diberi muatan pendidikan agama, diantaranya perubahan madrasah Adabiyah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad di Padang pada 1909 menjadi Sekolah Adabiyah (Adabiyah School) tahun 1915, dengan ciri yang berbeda pada kurikulumya dengan menambah pelajaran agama 2 jam setiap minggu. Begitu juga Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah model Belanda dengan memasukan pendidikan agama yang diistilahkannya “Metode Qur’an”, disamping itu mendirikan madrasah modern berupa madrasah Mu’allimin dan madrasah Mu’allimat namun selanjutnya madrasah ini kelembagaannya tidak berkembang menjadi sistem kelembagaan pendidikan Islam. Kedua, muncul madrasah modern yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodelogi pendidikan Belanda, yang bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam yakni sistem madrasah, surau, atau pesantren yang secara tradisional adalah kelembagaan pendidikan Islam indigenous. Pada proses ini yang diadopsi hanya aspek-aspek tertentu saja misalnya, kandungan kurikulum, teknik dan metodologi pengajaran. Diantaranya H. abdul Karim Amarullah pada tahun 1916 menjadikan “Surau Jembatan Basi” sebagai lembaga pendidikan tradisional Minangkabau sebagai basis pengembangan madrasah modern yang dikenal dengan “Sumatera Thawalib”. Pada waktu yang sama Zainuddin Labay el-Yunusi mengembangkan “Madrasah Diniyah”, yang diikuti oleh adiknya, Rangkayo Rahma el-Yunusiah mendidrikan “Diniyah Putri”. Di Jakarta Jami’at al-Khair tahun 1905 mendirikan madrasah dengan karakteristik yang sama, kemnudian diikuti oleh organisasi al-Irsyad. (Mastuki. www. Bagais. Co.id)

        Aktivitas pemodernan itu juga dilakukan oleh Pesantren Mambaul ‘Ulum di Surakarta tahun 1906, pesantren Tebu Ireng pada tahun 1916 mendirikan “madrasah Salafiyah”. Pesantren Rejoso Jombang mendirikan sebuah madrsah tahun 1927, termasuk Pondok Modern Gontor berdiri tahun 1926, yang berpijak pada basis pendidiken pesantren dengan memasukan mata pelajaran umum kekurikulumnya, pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Arab, sedangkan kegiatan ekstra kurikuler berupa olah raga, kesenian, dan sebagainya. Yang jelas semuanya memiliki respon yang sama dengan nuansa masing-masing berbeda. Organisasi-organisasi Islam lain yang bergerak dalam bidang pendidikan mendirikan madrasah dan sekolah dengan nama, jenis, dan jemnjang yang bermacam-macam, misalnya Mathlaul anwar di Menes (Banten) mendirikan madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Diniyah. PUI tahun 1927 mendirikan madrasah Diniyah, Tsanawiyah, dan madrasah pertanian. Perti tahun 1928 mendirikan madrasah Tarbiyah Islamiyah, awaliyah, Tsanawiyah, dan kuliyah syari’ah, dan NU tahun 1926 juga mendirikan madrasah awaliyah, ibtidaiyah, mu’alimin wustha dan mu’alimin ulya. Di Tapanuli, Medan, al-Washliyah (1930) menyelenggarakan madrasah tajhiziyah, ibtidaiyah, tsanawiyah, qismul’ali, dan tahassus. Selain itu ada juga madrasah yang menggunakan nama formal Islam (kuliah Muallimin Islamiyah) didirikan oleh Mahmud Yunus di Padang (1913) dan Islamic College didirikan oleh pesantren Muslim Indonesia (Permi) tahun 1931 (Ibid).

          Dengan demikian berdasarkan background sejarah tersebut dapat dinyatakan bahwa munculnya sistem pendidikan madrasah dalam pendidikan Islam di Indonesia adalah dikarenakan :

1.  Tumbuhnya semangat pembaharuan (medernisasi) dikalangan umat Islam di dunia kususnya dalam sistem pendidikan Islam,  termasuklah di Indonesia sendiri.

2.  Adanya politik “Etis” dari kebijakan kolonial, dalam bidang pendidikan dengan membangun sekolah (lembaga pendidikan) ala Belanda yang sekuler.

3.  Pesatnya perkembangan lembaga pendidikan tersebut, karena biayanya murah dan dengan kurikulum yang praktis, dan menjanjikan lapangan pekerjaan yang bervariasi walaupun pada tingkat rendah, sehingga meningkatkan minat masyarakat kala itu. Dan dikhawatirkan berkembangnya dan meluasnya pengaruh sekularisme dikalangan umat Islam di Indonesia.

4.  Adanya sikap diskriminatif dalam kebijakan kolonial yang dirasakan oleh umat Islam terhadap anak-anak (generasi) muslim dalam kesempatan belajar.

5.  Sistem pendidikan tradisional (pesanteren, surau, masjid, dan kelompok pengajian), belum sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai.

         Pertumbuhan madrasah di Indonesia, menunjukan adanya respon positif yang progresif terhadap perkembangan dan gerakan pembahruan yang terjadi di negeri-negeri Islam, di samping terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Dengan kompleksitas dan variasi sesuai dengan basis pendukungnya (organisasi sosial Islam). Dan madrsah terus tumbuh dan berkembang di setiap pelosok negeri ini (Indonesia) dalam jumlah yang dari waktu ke waktu semakin meningkat. 

        

   2. Perkembangan Madrasah dalam Sistem Pendidikan di Indonesia

        Era baru madrasah dimulai tahun 1930 ketika madrasah mulai menggunakan kurikulum dan metode pembelajaran yang terorganisasikan.(Abdul Aziz, Edukasi, 2005 : 34). Sebagai upaya menciptakan pendidikan Islam yang simbang dan sederajat dengan pendidikan sekolah ala Belanda yang bersifat formal dan sekuler. Hal ini mempengaruhi para pemikir pendidikan kala menjelang kemerdekaan dalam penentuan sistem pendidikan Indonesia, antara sistem pendidikan pribumi yang berupa pondok pesantren dan madrasah ataukah sistem pendidikan umum seperti yang dikembangkan oleh Belanda. Adapun pilihan akhirnya jatuh pada sistem pendidikan umum yang berorientasi pada sekolah ala Belanda. Sedangkan madrasah eksistensinya tetap berbasis pada swadaya masyarakat (swasta), tetap pada jalurnya sendiri yang terpisah dari sistem pendidikan nasional. Dan ini berarti pesantren dan madrasah berada pada posisi marjinal sebagaimana terjadi di saat belum merdeka, yang memprihatinkan lagi pemerintahan sudah ditangan pribumi.

        Angin segar bagi madrasah berhembus saat dikeluarkanya maklumat pada tanggal 22 Desember 1945 oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), yang diantaranya menganjurkan untuk memajukan pendidikan dan pengajaran di madrasah, pengajian-pengajian di langgar atau surau-surau, dan pondok pesantren. Serta menyarankan agar institusi-institusi pencerdasan rakyat seperti itu yang keberadaannya sudah berakar dalam masyarakat Indonesia, mendapat perhatian dan bantuan material dari pemerintah. (Ibid). Maklumat ini diwujudkan melalui Departemen Agama yang didirikan pada 3 Januari 1946, dan sejak saat itu pembinaan dan pengembangan madrasah dan pondok pesantren menjadi tugas pokok pemerintah yang diselenggarakan oleh Departemen Agama RI. “Dan melalui Panitia Penyelidik Pengajaran, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 tentang pemberian subsidi bantuan terhadap lembaga pendidikan Islam.”(Nurhayati Djamas, Edukasi, 2005 : 23)

         Melalui Departemen Agama pula, pemerintah berusaha mengintegrasikan pendidikan madrasah menjadi salah satu komponen pendidikan nasional, dan upaya ini membuahkan hasil dengan diakuinya lembaga pendidikan agama secara yuridis yang dituangkan dalam “Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran  No. 4 Tahun 1950  ayat 2, menyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”.(Depag RI). Kebijakan ini kemudian menuntut madrasah agar dapat diakui, harus memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar yaitu memberikan pelajaran agama sebagai pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu di samping pelajaran umum lainnya,  dan terdaftar di Kementerian Agama.

         Pada tahun 1958, Departemen Agama (Depag) memperkenalkan program Madrasah Wajib Belajar (MWB) di beberapa tempat, dengan maksud sebagai usaha awal untuk memberikan bantuan dan pembinaan pada madrasah. Dan dalam rangka penyeragaman kurikulum dan sistem penyelenggaraan, maka komposisi jam pelajaran terbagi 25% agama dan 75% umum (Hanun Asrohah, 1999). Namun penyelenggaraan madrasah model ini mendapat reaksi yang kurang baik dari masyarakat, karena dianggap kurang representatif .(Ibid). Hal tersebut mendorong pemerintah (Depag) mendirikan madrasah-madrasah negeri secara lengkap dan terperici, baik dari segi strata maupun materi serta sistem penyelenggaraan. Ketentuan muatan kurikulum adalah 30% agama dan 70% umum. Pendirian madrasah ini bertujuan sebagi model dan standar dalam memberikan ketentuan dasar secara lebih konkrit bagi penyelenggaraan madrasah serta diharapkan akan tercapainya mutu dan kualitas madrasah. (Depag RI).

          Hingga tahun 1970-an keberadaan madrasah dalam sistem pendidikan Indonesia, belum juga terangkat dari kemarjinalannya, karena madrasah masih tetap terkonsentrasi pada kurikulum agama, sedang sekolah umum mengutamakan pada kurikulum umum. Oleh karena itu muncul gagasan untuk mengintegrasikan administrsi penyelenggaraan pendidikan, dengan dikeluarkanya Keppres No. 34 Tahun 1972 yang dikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1975. alasan dikeluarkanya peraturan tersebut yaitu untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan di Madrasah. Tetapi kalangan Islam pendukung sistem pendidikan Islam yang tergabung dalam MP3A keberatan, sebab keputusan tersebut sebagai upaya dari kelompok sekuler untuk mengurangi fungsi pendidikan Islam.(Nurhayati Djamas, Edukasi, 2005 : 26). Respon kelompok tersebut membuahkan hasil dengan ditetapkanya SKB 3 Menteri Tahun 1975, antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah. Dalam keputusan itu selain menetapkan kurikulum dengan muatan 30% agama dan 70% umum, juga pengakuan atas lulusan madrasah yang dapat melanjutkan kejenjang pendidikan umum berikutnya.(Ibid). Walaupun demikian masih ada dikalangan umat Islam yang keberatan dengan keputusan tersebut.

          Penetapan Undang-undang No. 2 Tahun 1989, “yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.”(Mudjahid, Iklas Beramal, 2000 : 9). Hal ini lebih  memantapkan secara yuridis akan eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menscerdaskan bangsa yang membentuk pribadi taqwa. Sebagai mana tujuan pendidikan dalam undang-undang tersebut. “Kedudukan madrasah kemudian diperkuat lagi dengan PP. No. 28 Tahun 1990 dan SK Mendikbud No. 0487/U/1992 dan No. 054/U/1993. SK-SK tersebut kemudian ditindaklajuti dengan SK Menag No. 368 dan 369 tentang penyelenggaraan MI dan MTs.”(Masykuri Abdillah, 2002)

        Terakhir dikeluarkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2003, merupakan UU yang mempertegas jalur atau jenjang dan jenis pendidikan, dimana Madrasah (MI, MTs, MA) mendapatkan tempat dan kedudukan yang sama dengan sekolah umum dengan pelaksanaan kurikulum yang sama. Dan ini berarti bahwa madrasah bukanlah lagi pendidikan kelas dua, yang sekaligus menuntut madrasah untuk mengejar ketertinggalannya dalam mutu penyelenggaraan hingga mutu lulusan agar sama dengan sekolah umum (dan bahkan seharusnya bernilai plus). UU SPN tersebut menempatkan MI dan MTs sebagai sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama yang bercirikan agama, sedang MA adalah sekolah menengah umum yang bercirikan agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.

           Perkembangan madrasah secara kualitas belum bisa berbicara banyak, walaupun di daerah tertentu telah ada medrasah berkualitas berkaliber Nasional seperti di Malang mulai dari MI, MTs, dan MA, dan di Jakarta dengan Madrasah Insan Cendekia. Menurut Husni Rahim (2001), “praktek pendidikan Islam di Indonesia sebagaimana diidentifikasikan mengalami pasang surut dari waktu ke waktu, walaupun demikian dalam perkembangannya terakhir, menunjukan kemajuan setidak-tidaknya jika dilihat dari indicator kuantitas.” Keadaan  perkembangan pendididkan Islam di Indonesia belakangan dapat dilihat dari data yang menunjukan peningkatan jumlah madrasah dan peserta didiknya (siswa), mulai dari tingkat Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), sampai Aliyah (MA) baik negeri maupun swasta dari table berikut ini :

Tabel Jumlah Madrasah dan Siswa Pada Madrasah Negeri dan Swasta

Tahun 1999 – 2000

 

No

Jenjang dan Status

Jumlah Lembaga

Jumlah Siswa

1

MIN

1.545

269.841

2

MIS

20.000

2.624.287

3

MTsN

1.178

492.937

4

MTsS

8.682

1.320.198

5

MAN

552

232.608

6

MAS

2.737

326.897

(Data EMIS yang dikutip oleh Mudjahid AK.M.Sc)

 

Data ini selain menunjukan perkembangan dan pertumbuhan madrasah, juga sebagai gambaran bahwa konstribusi madrasah sebagai lembaga pendidikan yang ikut berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencetak sumberdaya pembangunan masih sangat dibutuhkan, apalagi sebagian besar madrasah-madrasah tersebut memiliki basis yang kuat dan berakar pada masyarakat, “walaupun secara objektif kondisi madrasah tersebut memprihatinkan, ternyata masyarakat masih mempercayakan pendidikan anaknya di madrasah terutama didaerah pedesaan.”(Ibid)

           Dengan melihat beberapa perkembangan madrasah dalam sistem pendidikan di Indonesia, pertama, posisi madrasah yang termajinalisasi diakibatkan dari sifatnya yang dianggap tradisonal dari aspek kurikulum dan sistem penyelenggaraan sehingga perlu penyesuaian dengan sistem pendidikan nasional, dapat pula didentifikasi sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan pemerintah (bahkan cendrung diskriminatif dan hingga saat ini dirasakan oleh madrasah), yang menurut Nurhayati Djamas (2005) diakibatkan dari persoalan “psiko politik” dimana kebijakan (Orde Baru) yang memarginalkan kelompok Islam politik didalam mainstream politik nasional (terutama pada fase awal) yang melahirkan frustasi dan kecurigaan adanya pengaruh politik yang kuat dari kelompok “nasionalis sekuler”. Kedua, pendidikan Islam dalam hal ini madrasah merupakan ciri khas dari lembaga pendidikan persekolahan umum yang diselenggarakan oleh Departemen Agama, dan oleh organisasi dan yayasan sosial keagamaan Islam. Ketiga, madrasah merupakan lembaga pendidikan di Indonesia yang memiliki basis kemasyarakatan yang kuat terutama di pedesaan, walaupun demikian ini berarti madrasah sangat berpotensi dapat berkembang lebih mandiri (otonom) melalui swadana  kemasyarakatannya (atau katakanlah sebagai pondasi yang menguatkan madrasah untuk dapat lebih maju secara idealnya).

 

C. Tantangan Madarasah Sebagai Lembaga Pendidikan

         Dari background baik sejarah sampai keperkembangannya, jelas pada prinsip idealnya madrasah sudah seharusnya lebih maju dan lebih mudah berkembang dikarenakan social power yang dimiliki oleh madrasah sebagai lembaga pendidikan yang keberadaanya di tengah wilayah yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia. Walaupun pemikiran tersebut tidak terlalu mendasar, tetapi paling tidak  memiliki hubungan yang vertical terutama sebagai tempat untuk mewriskan dan melestarikan eksistensi keyakinan dan nilai-nilai Islam diantara generasi muslim. Namun kenyataanya madrasah semakin jauh dari harapan tersebut, karena “ berdasarkan kepada kenyataan, bahwa madrasah pada seluruh levelnya adalah equivalen dengan sekolah-sekolah umum” (Azra, 2002 : 92). Ini berarti motivasi orang tua murid tentang pendidikan madrasah yang cukup memadai pengetahuan agamanya mungkin harus bersiap-siap untuk kecewa. Hal ini adalah konsekwensi dari ketentuan UUSPN 1989, dimana madrasah harus mengadopsi dan menerapkan kurikulum yang dikeluarkan oleh Diknas.

         Bagaimanapun hebatnya suatu lembaga, untuk tetap eksis dan berkualitas tetap akan menghadapi permasalahan dan tantangan diantaranya adalah lembaga pedidikan. Hal ini logis karena zaman yang berubah dengan tuntutan kebutuhan pun berubah dan semakin berkualitas serta memiliki daya kompetitif yang kian ketat. Madrasah yang memiliki segudang permasalahan baik secara eksternal maupun internal terus menurus tiada henti untuk eksis dan berupaya guna mencapai puncak kualitas yang diharapkan. Tentulah madrasah tidak akan lepas dari bidikan tantangan setiap langkah dan geraknya, mulai dari zaman, kebijakan, kurikulum, manajemen, sumberdaya baik dana maupun manusia,  kualitas produk pembelajaran,  dan sebagainya jelas menunjukan dinimika positif atau pun negatif sebagai salah satu lembaga pendidikan. Tegasnya masalah madrasah tidak dapat dipisahkan dari permasalah dan tantangan yang sedang dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan nasional, walaupun dalam kapasitas yang berbeda. Adapun tantangan yang sedang dan akan dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah adalah sebagai berikut :

 

a. Tanatangan Eksternal

         Memnurut Mastuhu (2003) pada dinamika kehidupan abad 21 ini berjalan sangat cepat dan semakin cepat sebagai dunia tanpa batas, adapun tantangan eksternal bagi penddikan dapat dilihat dari unsur-unsur; globalisasi, kompleksitas, turbelence, dinamika, akselerasi, keberlanjutan dari yang kuno ke yang modern, koneksitas,  konvergensi, konsolidasi, rasionalisme, paradoks global, dan kekuatan pemikiran. Sedangkan menurut Husni Rahim (2002) bahwa secara eksternal masa depan pendidikan Islam dipengaruhi oleh tiga isu besar; globalisasi, demokratisasi, dan liberalisme Islam. Atas pendapat tersebut dalam tulisan ini, akan dipaparkan beberapa tantangan bagi madrasah saat ini dan yang akan datang, sebagai berikut : 

 

1. Tantangan globalisasi

         Dalam membangun sector pendidikan tidak akan pernah mencapai tujuan akhir yang sempurna dan final. Hal ini terjadi karena konteks pendidikan selalu dinamis, berubah, dan tidak pernah konstan, sesuai dengan perubahan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih-lebih dalam era global (Suyanto : 2002).  Dalam era global ini terjadi proses globalisasi yang bersifat universal dan internasionalitas.

       Menurut H.A.R Tilaar, bahwa era global itu ditandai dengan “Dunia tanpa batas (borderless world), kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan aplikasinya di dalam kehidupan manusia, kesadaran terhadap hak dan kewajiban asasi manusia (human rights and obligations), dan kerjasama serta kompetisi antar bangsa (mega competition society).”(Tilaar, 2002 : 2). Era global merupakan sebagai tanda perubahan zaman pada abad 21, dan globalisasi adalah sebuah proses yang menciptakan perubahan yang sangat revolusioner yang melahirkan suatu gaya hidup (a new life style) yang dilandasi persaingan sehingga menuntut pembenahan dan penyesuaian diri. Perubahan ini memberikan tekanan-tekanan kepada suatu organisasi untuk mempertahankan keberadaannya, termasuklah lembaga pendidikan. Tekanan tersebut mengarah pada permasalahan produktivitas, efisiensi, tingkat kompetisi, yang menuntut peningkatan kinerja dan kualitas. Pada era ini menuntut manusia unggul dan hasil karya yang unggul, sebagai akibat terbentuknya masyarakat yang terbuka yang memberikan berbagai jenis kemungkinan pilihan. Globalisasi dapat pula dibaca sebagai hegemoni kekuatan ekonomi, politik, dan cultural negara-negara industri maju terhadap negara-negara yang belum terindustrialisasikan sepenuhnya.(Abdul Aziz : 2005).

        Salah satu penyebab mengapa bengsa Indonesia tidak mampu segera keluar dari krisis demensionalnya, adalah karena rendahnya kualitas SDM yang dimiliki. “Hal ini terjadi karena kurang berfungsinya dan relevannya program-program pembangunan pendidikan dalam menghadapi persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam perspektif kekinian dan masa depan.”(Suyanto : 2002). Dan ini menjadi ancaman terhadap keberlangsungan bangsa kita, yang mau tidak mau harus bersaing secara terbuka pada tatanan dunia baru di era AFTA, NAFTA, dan APEC tahun 2020 nanti. Dalam situasi itu, hanya bangsa yang memiliki SDM yang unggul dari setiap bidang yang akan  survive.

          Andersen Consulting (dalam Jusuf Amir Faisal, 2002) merumuskan SDM di era mendatang adalah SDM yang memiliki profil sebagai berikut: higher skill level, increased productivity, quality of results, better leadership, hightened work ethics, ability to work in teams, cross functional team involvement, more working hours, dan sebagainya. Oleh karena itu , “dalam perspektif pendidikan, mampukah kita menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan yang menghasilkan lulusan-lulusan yang “mampu memilih” tanpa kehilangan peluang dan jati  dirinya.”(Mastuhu, 2003 : 10). Problematic tantangan tersebut juga menjadi bagian dari tantang yang dihadapi Madrasah, adapun secara khusus pertanyaannya bagaimana madarash terus eksis dan menjadi pilihan masyarakat di era mendatang, dan dapatkah menghasilkan produk (out come) yang berkualitas serta mampu bersaing dalam era global ini, tetapi tetap dapat memainkan peranan penting dalam kehidupan bercorak global dengan tidak kehilangan ciri khasnya dan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam. Artinya madrasah dutuntut pada saat ini harus mampu membangun suatu sistem pendidikan yang kompetitif dan memiliki daya inovatif serta dapat mengembangkan identitas pesrta didiknya sebagai seorang muslim khususnya dan bangga sebagai bangsa  Indonesia dengan penuh percaya diri memasuki era global. Tantangan lain yang muncul bagi madrasah adalah terjadinya pergeseran orientasi masyarakat terhadap pendidikan sebagai wahana untuk mencari ilmu menjadi pendidikan sebagai persiapan mencari kerja. Tantangan ini menuntut madrasah agar menentukan program-program pendidikannya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (marketable).

 

2.  Tantangan Demokratisasi

         Samuel Huntington (1984) pernah mempertanyakan teori-teori yang optimis terhadap masa depan demokrasi, menurutnya “dengan beberapa pengecualian, batas perkembangan demokrasi di dunia telah tercapai”. Tetapi, munculnya negara-negara demokrasi baru di bekas Uni Sovyet dan Eropa Timur khususnya, kembali menyulut perhatian publik dunia dan optimisme akademik akan masa depan demokrasi. (Azra, 2002 : 161)

        Demokratisasi merupakan isu lain yang mempengaruhi masa depan pendidikan Islam Indonesia. Tuntutan demokratisasi pada awalnya ditujukan pada sistem politik negara sebagai ‘perlawanan’ terhadap sistem politik yang otoriter. Dalam perkembangannya tuntutan ini mengarah kepada sistem pengelolaan berbagai bidang termasuklah pendidikan.(Husni Rahim : 2002). Kehidupan demokrasi adalah kehidupan yang menghargai akan potensi individu yaitu individu yang berbeda dari individu yang mau hidup bersama, artinya bahwa setiap bentuk homogenisasi masyarakat adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup demokrasi.(Tilaar, 2004 : 10). Sehingga dalam bidang pendidikan semua warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan , juga memiliki kewajiban yang sama dalam membangun pendidikan nasional yang berkualitas (education for all).

        Tantangan bagi madrasah yang memiliki sistem pendidikan yang bersifat sentralistik, seragam, dan dependen, maka tuntutan dari tantangan ini, madrasah harus mengembangkan sistem pendidikan yang lebih otonom dan beragam.

3. Tantangan Otonomisasi

           Sejak tanggal 1 Januari 2001, otonomi daerah resmi diberlakukan di tanah air kita. Melalui UU. 22 Tahun 1999, tentang otonomi daerah yaitu kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan undang-undang. Lebih tegas lagi pada pasal 7 ayat 1 tentang kewenagan pemerintah pusat dan daerah, seluruh bidang (kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan moneter dan fiscal, serta agama ) diserahkan kepada daerah (Kabupaten/kota). Sedangkan pada pasal 11 ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu kewenangan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Jelas kebijakan ini berimplikasi terhadap lembaga-lembaga pendidikan keagamaan khususnya madrasah yang selama ini bernaung pada Departemen agama

           Muncul wacana baru untuk mempertimbangkan secara mendalam terhadap kebijakan yang berkaitan dengan madrasah. Apakah tetap dikeklola pemerintah pusat ataukah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota seperti halnya sekolah umum. “Hal yang patut menjadi pertimbangan adalah jumlah lembaga pendidikan dilingkungan Depag mencapai 72.650 buah dari seluruh level yang ada termasuk pesantren.”(Ahmad Ta’rifin : 2003). Dengan dampak penyerahan terhadap pencapaian tujuan pendidikan agama serta kemampuan pembiayaan pemerintah pusat yang semakin berkurang karena adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan UU No. 25/1999. Yang jelas apapun pilihannya, kebijakan Depag akan berdampak lebih jauh di masa mendatang terhadap keberadaan madrsah sebagai institusi. Karena salah satu tugas penting Depag pada era otonomi daerah adalah bagaimana mengoptimalkan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan agama, baik pada sekolah umum yang berciri khas agama Islam (madrasah) maupun pada sekolah umum.

        Implikasi mikro adalah otonomisasi pendidikan yang lebih dikenal dengan otonomi sekolah. Pemikiran ini merupakan sebagai upaya menjadikan lembaga pendidikan sebagai wadah otonom, “dengan maksud agar sekolah dapat menawarkan pendidikan yang lebih bermutu berdasarkan pertimbangan akademik dan nilai-nilai yang diberikan untuk membentuk sikap kepada siswa dalam kerangka mewujudkan kematangan diri dan juga dapat menunjang pengembangan kehidupan masyarakat.”(Ibid). Dengan demikian, sekolah dapat mengembangkan program-program inovatif dan pengembangan SDM yang ada, serta mendorong peran serta masyarakat dalam mengoptimalkan perencanaan, pengawasan, pelaksanaan kegiatan pendidikan.  Artinya sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya yang dimilikinya.

         Bagi madrasah ini merupakan kesempatan luas untuk menuju kemandriannya dan keberdayaannya dalam bingkai keislaman dan kemasyarakatan. Tetapi, semua ini mesti menuntut tanggungjawab bersama. Oleh karena itu keputusan yang tepat untuk menempatkan posisi madrasah dalam sistem penyelenggaraan pendidikan nasional pada era otonomi ini, merupakan salah satu aspek penting yang ikut menentukan perjalanan lembaga tersebut di masa-masa yang akan datang. Menurut Mudjahid paling tidak ada tiga opsi alternatif untuk posisi madrasah dalam proses otonomi pendidikan, sebagai berikut :

a.    Tetap menyerahkan penyelenggaraan madarsah kepada pemerintah pusat (Depag) dengan sistem sentralistik, dengan konsekwensi madarsah akan sulit berinovasi, terciptanya pola ketergantungan dengan pusat, terisolasi dari pemerintah daerah, adanya penyeragaman kurikulum sehingga tidak bisa menjawab need assessment keagamaan masyarakat dan kebutuhan pembanganan daerah. “ Bahkan dengan pendekatan ini madrasah akan menanggung beban dari program-program penting pusat atau wilayah.”(Ahmad Ta’rifin : 2003)

b.    Menyerahkan penyelenggaraan pendidikan madrasah kepada pemerintah daerah, dimana pemerintah pusat hanya memberikan kebijakan umum, seperti standarisasi kelayakan madrasah, ketenagaan, dan sistem evaluasi. Konsekuwensinya, madrasah akan menjadi tanggungjawab dan perhatian sepenuhnya dari pemerintah daerah, madrasah dapat mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan daerah dan kebutuhan masyarakat, dan mudah untuk kembali pada identitas kulturalnya yang berorientasi pada masyarakat disekitarnya.

c.    Menyerahkan seluruh lembaga pendidikan agama yang berstatus sebagai pendidikan umum berciri khas Islam seperti; MI, MTs, MA kepada pemerintah daerah, tetapi untuk lembaga pendidikan keagamaan seperti Madrasah Diniyah(MD), MAK, TPA, pesantren, dan majelis ta’lim tetap dikelola oleh pemerintah pusat. Dengan pembagian ini memungkinkan pemerintah daerah untuk memfokuskan pengembangan Madrasah umum sedang pemerintah pusat terkonsentrasi pada lembaga pendidikan keagamaan.” (Mudjahid : 2000) 

                                                                  

 

 

 

 

4. Tantangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

        Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan, karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. “Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecendrungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu, (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknoilogi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek keperencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari herarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari satu ke pilihan majemuk.” ( Ani M. Hasan : 2003)

        Kecendrungan di atas jelas berdampak terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen, tenaga pendidik, strategi dan metoda pendidikan. Selanjutnya Naisbiti (1995) mengemukan ada 8 kecendrungan besar Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu ; (1) dari negara bangsa ke jaringan, (2) dari tuntutan eksport ke konsumen, (3) dari pengaruh barat ke asia, (4) dari kontrol pemerintah ke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat karya ke tekno;ogi canggih, (7) dari dominasi pria ke munculnya kaum wanita, (8) dari Barat ke Timur.(Ibid). hal ini akan mempengaruhi pergeseran tata nilai dalam berbagai kehidupan, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Akhirnya semua itu akan mempengaruhi juga pola-pola pendidikan yang lebih disukai dengan tuntutan kecendrungan tersebut. Dalam hubungan ini pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan SDM yang mampu menghadapi tantangan kecendrungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya. Tantangan ini juga merupakan bagian yang sedang dihadapi oleh madrasah sebagai lembaga pendidikan.

        Apalagi dalam memasuki abad pengetahuan ini paradigma pendidikan akan mengalami perubahan, menurut Makagiansar (1996) meliputi; (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar fokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistic, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke hubungan kemitraan, (4) dari pengajaran yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan, (5) dari kampanye buta aksara ke kampanye melawan buta teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi keorientasi kerja bersama.(Ibid). “Kecendrungan ini muncul dengan hadirnya alat-alat canggih (seperti komputer) yang membawa tantangan baru bagi pendidikan, karena alat-alat tersebut diciptakan untuk mempermudah kerja manusia dan menimbulkan rasa senang”(Arifin, 2000 : 39). Kecepatan informasi melalu internet yang up to date mendorong tumbuhnya motivasi membaca dan mengikuti perkembangan IPTEK di dunia (Suteja, 2002 : 12), hal ini menjadi tantangan pendidikan untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan yang tepat. Sayling Wen (di kutip Akmal Hawi : 2004)) mengatakan bahwa yang dihadapi dunia pendidikan sekarang ini adalah revolusi dalam cara belajar di zaman ini, zaman internet harus menyesuaikan diri dan berubah, kalau tidak akan tinggal sejarah.

 

5. Tantangan Sosial, politik, dan budaya

          Tantangan politik terutama politik kenegaraan banyak berkaitan dengan masalah bagaimana lembaga itu membimbing, mengarahkan, dan mengembangkan kehidupan bangsa dalam jangka panjang, yang disesuaikan atas falsafah negara yang mengikat semua sector perkembangan bangsa dalam proses pencapaian tujuan nasional. Dengan kata lain pendidikan adalah bagian dari sector perkembangan kehidupan budaya bangsa yang terikat pada tujuan nasional. (Akmal Hawi : 2004)

          Efeknya mau tidak mau lembaga pendidikan harus mau mengikuti politik negara, kalau tidak akan menjadi tekanan (pressure) terhadap cita lembaga tersebut. “ Karena hal tersebut menyangkut kepentingan perkembangan bangsa di masa depan dalam pemeliharaan watak dan kepribadian, kreatifitas, dan disiplin bangsa itu sendiri.”(Arifin, 2000 : 89)

          Adapun budaya adalah hasil budi daya manusia baik bersifat material maupun immaterial dari bangsa itu sendiri ataupun dari bangsa lain. Perkembangan budaya saat ini tidak terlepas dari proses akulturisasi dimana factor nilai yang mendasari kebudayaan sendiri sangat menentukan daya tahan, dan kalau melemah maka bangsa tersebut akan kehilangan identitas kebangsaannya.

         Secara sosial kemesyarakatan, kehidupan mengandung ide-ide yang sangat laten terhadap pengaruh budaya dan IPTEK sebagai sistem kehidupan. Proses sosial tidak statis dan tidak beku, cendrung dinamis yang mengakibatkan perubahan-perubahan yang biasa dikenal sebagai perubahan sosial. Selain itu dalam kehidupan sosial berkembang nilai-nilai (norma) baik norma tradisonal maupun norma agama, yang juga berkembang dari proses sosial yang terjadi. Sistem nilai juga menjadi tolok ukur bagi tingkah laku manusia yang mengandung potensi mengendalikan, mengatur, dan mengarahkan perkembangan masyarakat secara sosialitas. (Akmal Hawi : 2004). Semua ini tidak terlepas dari eksistensi sebuah lembaga pendidikan sebagai agen perubahan sosial dan budaya, sehingga lembaga tersebut harus dapat memainkan peranannya tersebut melalui kemasan program-program yang relevan terhadap tuntutan itu. 

 

b. Tantangan Internal

         Secara internal, dunia pendidikan Islam mengahadapi problem pokok yang cukup mendasar, yang sangat sering didengar masalah kualitas SDM, kelengkapan sarana-prasarana, pendanaan, kurikulum, proses belajar mengajar, menajemen pengelolaan, dan kebijakan pendidikan terhadapnya.

 

1. Kualitas Sumberdaya Manusia

        Kualitas sumber daya manusia yang dihadapi oleh madrasah sebagai lembaga pendidikan adalah “rendahnya kualitas SDM pengelola pendidikan. Hal ini terkait dengan program pendidikan dan pembinaan tenaga kependidikan yang masih lemah, dan pola rekrutmen tenaga pegawai yang kurang selektif. Namun demikian, trend dari waktu ke waktu menunjukan bahwa penyelesaian atas masalah sumberdaya manusia itu mengalami penangan yang semakin baik, disamping adanya usaha perbaikan pada lembaga-lembaga pendidik kependidikan..juga diselenggarakan program-program pelatihan dalam berbagai bidang dan profesi kependidikan.” (Husni Rahim : 2002)

        Masih seputar SDM,  adanya penyakit klise berupa tenaga pendidik (guru) yang mismatch, dimana satu guru menangani materi mata pelajaran yang banyak. “hal ini biasanya mempengaruhi dalam persoalan kompetensi yang tidak mempuni sehingga out put yang dihasilkan pun rendah”(Inovasi, 2003 : 15). Ini menunjukan adanya problematic rendahnya kualitas guru yang dimiliki madarsah

        SDM yang sering menjadi permasalahan hingga saat ini adalah rendahnya kualitas lulusan (out put school quality), bahkan isu ini sudah menjadi perbincangan secara nasional. Cukup beragam pengukuran rendahnya mutu lulusan madrasah, ada yang dilihat dari prestasi pencapai NEM, ada juga yang melihat berapa besar lulusan itu dapat memasuki lapangan pekerjaan, ada yang melihat banyak sedikitnya lulusan itu menembus keperguruan tinggi, dan sebagainya. Menurut Abdul Aziz (2005), problem penting yang menghambat peningkatan mutu lulusan madrasah adalah merebaknya rasa rendah diri sebagai warga belajar madarasah, adanya politik yang diskriminatif yang dialami oleh madrasah selama puluhan tahun yang tak kunjung memperoleh kesempatan (recovery), dan kesan sebagai pendidikan kelas dua (mungkin ini terasa pada saat seleksi penerimaan pegawai pemda).

         Problema lain yang dihadapi adalah kualitas input yang masih terus menjadi keprihatinan yang sering dilontarkan oleh praktisi pendidikan di madrasah, yang menyatakan rendahnya mutu input sebagai sisa seleksi dari sekolah umum. Hanya sebagian kecil saja yang masuk madrasah itu merupakan input yang bermutu, tapi inilah tantangan bagi madrasah sebagai lembaga pendidikan.

 

2. Sarana Prasarana Pendidikan

        Kelengkapan sarana dan prasarana juga menjadi problema yang dihadapi oleh madrasah. Dan bukan menjadi rahasia umum bahwa pendidikan madrasah diselenggarakan dengan berbagai keterbatasan saran prasaran, termasuk juga dalam segi pendanaan. Keterbatasan ini jelas menunjukan tidak lengkapnya ketersediaan sarana prasarana pendidikan, yang  menjadikan rendahnya kualitas penyelenggaraan pendidikan di madrasah. Kerena problema ini menjadikan proses pembelajaran yang apa adanya. Namun sekarang sudah mulai bergeser, “banyak madrasah diberbagai tempat, apakah itu di wilayah urban maupun di pedesaan, mulai mempunyai gedung-gedung  atau bangunan yang megah, dan lebih penting lagi sehat dan kondusif sebagai tempat berlangsunganya proses pendidikan yang baik.”(Azra, 2002 : 89). Dengan demikian, citra yang pernah disandang madrasah yang memiliki bangunan seadanya, atau bahkan reot dan tidak higienis semakin memudar khususnya untuk madrasah negeri. Namun tetap saja keterbatasan sarana prasarana dalam hal ini pada saat proses pembelajaran masih melilit erat pada tubuh madrasah.

 

 

 

 

3. Kebijakan Pemerintah

a. Kurikulum

       Kurikulum merupakan pemandu utama bagi penyelenggaraan pendidikan secara formal, yang menjadi pedoman bagi setiap guru, kepala sekolah (madrasah), dan kerangka (frame-work) pendidikan dalam pelaksanaan tugas mereka sehari-hari. Singkatnya kurikulum sebagai pengeja-wantahan dari tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Berhubungan dengan ini Menurut Mastuhu, kelemahan sistem pendidikan madrasah pada dasarnya sama dengan kelemahan umum yang disandang oleh pendidikan di Indonesia. Kelemahan tersebut meliputi ; a) memetingkan materi di atas metodologi, b) mementingkan m,emori di atas analisis dan dialog, c) mementingkan pikiran vertical di atas literal, d) mementingkan penguatan pada otak kiri di atas otak kanan, e) materi pelajaran agama yang diberikan masih bersifat tradisional, belum menyentuh aspek rasional, f) penekanan yang berlebihan pada ilmu sebagai produk final, bukan pada proses metodologinya, g) mementingkan orientasi “memiliki” di atas “menjadi”. (Mastuhu, 1999 : 59)

       Karena status madrasah pada semua jenjang telah disamakan (eguivalen) dengan sekolah umum, maka kurikulum komponen pendidikan umum madrasah sepenuhnya (100%) mengikuti kurikulum yang ditetapkan Diknas….Dengan demikian isi pendidikan madarasah tidak lagi memiliki perbedaan yang terlalu subtansial dan sustantif dengan sekolah umum. Padahal, madrasah sesuai dengan akar eksistensi dan pengalaman histories…semestinya memiliki ciri dan karakter pendidikan Islam….Oleh karena itu, madrasah perlu mengembangkan kurikulum pendidikan Islamnya, baik melalui celah muatan local, maupun dengan penambahan waktu belajar yang khusus untuk materi keislaman.(Azra : 2003). Dan prospek ini dapat terakomodasi melalu kurikulum KBK dan kebijakan desentralisasi pendidikan.

 

b. Pendanaan Madrasah

        Salah satu bentuk tantangan yang dihadapi oleh madrasah hingga saat ini adalah pendanaan madarsah, yang hingga saat ini pula dirasakan perlakuan yang diskriminatif, walaupun dalam praktek sekarang adanya dana BOS (Bantuan Oprasional Sekolah) secara nasional ada pemerataan, tapi dampak dari otonominisasi daerah, dengan status tanggungjawab terhadap madrasah oleh pemerintah pusat (Depag), otomatis menjadi lemahnya perhatian dan tanggungjawab pemerintah daerah terhdap madrasah. Apalagi adanya kemampuan pembiayaan pemerintah pusat yang semakin berkurang karena adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan UU No. 25/1999.

        Ketidak keseimbangan pendanan antara pendidikan agama dan umum ini sudah terjadi sejak lama. Hal in terlihat pada data pembiayan pendidikan pada tahun 1999/2000 , biaya pendidikan untuk IAIN sebesar Rp. 50. 000,- per mahasiswa setiap tahun, sedangkan universitas negeri sebesar Rp 150. 000,-. MAN sebesar Rp 51. 000,- per siswa, sedang SMU sebesar Rp 67. 000,-. MTsN sebesar Rp 33. 000,- per siswa sedangkan SLTPN sebesar Rp 49. 000,- per siswa, sedangkan SDN  sebesar Rp 100. 000,- per anak setiap tahunnya (Perta, No. 2, Vol. III/2000 : 1). Dengan gambaran ini jelas menjadi tantangan sendiri bagi madrasah, apalagi anak-anak yang bersekolah di madrasah memiliki latar belakang sosial ekonomi yang rendah, yang seharusnya memperoleh subsidi anggaran lebih besar dibandingkan sekolah umum.

 

4. Manajemen Madrasah

       Suatu sistem hanya produktif dan efisien apabila dikelola secara tepat. Begitu pula lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai suatu sistem haruslah dikelola secara professional. Selama ini menajemen yang berlansung pada pada pendidikan di madrasah masih bersifat sentralistik dan berjalan secara top-down, tetapi dengan semakin baiknya tingkat intelektual masyarakat, maka manajemen secara top-down  tidak memadai lagi. “Dewasa ini dunia yang semakin terbuka , dan semakin tingginya partisipasi masyarakat termasuk dalam bidang pembangunan pendidikan, maka perencanan dari bawa (bottom-up) dan mengikut sertakan partisipasi masyarakat akan membuahkan hasil yang lebih efisien”.(Tilaar, 1999 : 4). Ini berarti sudah saatnya madrasah mengubah sistem manajemennya sesuai dengan tuntutan tersebut.

        Peningkatan kompetisi, pilihan, dan tuntutan masyarakat jelas mempengaruhi pendidikan hari ini. Pada saat bersamaan, factor-faktor eksternal mempengaruhi juga. Oleh karena itu pendidikan perlu mendapat pengaturan dan standardisasi untuk memenangkan kompetisi dan peningkatan mutu terus menerus. Dan sebagai jawabannya adalah manajemen madrasah harus mengembangkan kreativitas, inovasi, dan modernisasi bagi fokus pada pelanggan pendidikan. Maka yang harus diperhatikan para menejer, kepala madrasah, guru-guru, dan supervisor pendidikan madrasah adalah perbaikan mutu sebagai kunci sukses pendidikan di masa depan.

 

D. Prospek Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan Masa Depan

        Madrasah adalah salah satu model lembaga pendidikan Islam, jika dilihat secara normatif pada dasarnya bersumber dari ajaran agama yang universal. Berdasarkan komitmen ini jelas pendidikan Islam akan mampu bertahan dalam perubahan yang terjadi dari masa ke masa. Perinsip universal menunjukan kesanggupannya untuk di satu sisi mempertahankan semangat keislamannya dan di sisi lain menyesuaikan aspek teknisnya dengan perkembangan zaman.

           Di dalam artikel Business Week 23 – 30 Agustus 1999 mengenai dua puluh satu trend perkembangan kehidupan manusia dalam abad 21, ada dua kecendrungan menarik penulis. Pertama ialah peranan agama yang akan semakin relevan, dan kedua trend mengenai kemajuan ilmu dan teknologi yang akan mengubah wajah dan kehidupan manusia.(Tilaar, 2004 : 146). Pernyataan ini paling tidak memberi sebuah prospek kedepan bahwa kebutuhan akan pendidikan agama di masa depan akan menjadi salah satu bagian trend dari kebutuhan masyarakat. Dan ini memberikan peluang yang besar bagi kemantapan eksistensi lembaga pendidikan Islam (madrasah) ditengah arus globalisasi, “menjadikannya salah satu pendidikan alternatif”(Ibid : 147). Karena agama akan muncul kembali sebagai pegangan hidup manusia di tengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

          Pada sisi lain prospek madrasah sebagai lembaga pendidikan di masa yang akan datang dapat pula dilihat dari angka pertumbuhan madrasah yang semakin meningkat secara kuantitatif mencapai 72. 650 termasuk pesantren (rincinya lihat data table pada pembahasan perkembangan madrasah). Data tersebut menggambarkan pada kita sebuah ke-optimisme-an akan kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan madrasah ditengah kehidupan mereka. Menurut Azyumardi Azra, mengatakan bahwa “dalam pengamatan saya, madrasah kelihatan mengalami semacam “kebangkitan”, atau setidaknya menemukan “popularitas” baru. Secara kuantitatif jumlah madrasah kelihatannya meningkat; berbagai madrasah baru muncul di mana-mana, tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Sumatera. Dan Yang menarik lagi dari perkembangan kuantitatif ini adalah gejala pertumbuhan madrasah-madrasah favorit karena keunggulannya….Kemunculan madrasah-madrasah unggulan dan favorit bisa jadi merupakan indikasi lebih lanjut tentang kerinduan orang tua-orang tua Muslim untuk mendapatkan pendidikan Islami yang baik, dan sekaligus unggul pula ilmu-ilmu umum. Sehingga pendidikan madrasah juga kompetitif bagi anak-anak mereka” (Azra, 2002 : 89 - 90). Disinilah letak kelebihan madrasah sekarang ini, anak-anak mendapatkan pendidikan umum, tetapi juga mendapat kelebihan dalam pendidikan Islam.

        Selanjutnya Azyumardi Azra mengatakan “masih dalam konteks perkembangan kuantitatif ini adalah terjadinya perpindahan murid-murid sekolah umum dalam berbagai jenjang ke madrasah di berbagai daerah, seperti dilaporkan para pengamat pendidikan Islam dan konsultan madrasah”. Ini pun menunjukan peningkatan minat masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anak-anak mereka pada madrasah. Hal ini dapat pula dilihat dari angka partisipasi kasar peserta belajar pada madrasah ibtidaiyyah mencapai 2. 894. 128 murid, pada tingkat tsanawiyah 1. 813. 135 murid, dan tingkat aliyah mencapai 525. 596 murid pada tahun ajaran 1999-2000. Angka-angka itu menunjukan bahwa sumbangsih madrasah terhadap mobilisasi pendidikan anak-anak usia sekolah secara nasional mencapai 10, 1% dari sekitar 27. 454. 191 anak usia 7 – 12 tahun, 12,8% dari sekitar 14. 145. 659 anak usia 13 – 15 tahun, dan 4 % dari keseluruhan remaja usia 16 – 18 tahun. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, perkembangan ini mengalami peningkatan sekitar 1,8 % untuk madrasah tingkat MI dan 3,9 % untuk madrasah tingkat MTs.(Husni Rahim : 2002). Yang jelas eksis sebuah madrasah adalah melaksanakan pendidikan yang bersifat student oriented dan diabdikan sepenuhnya untuk mencetak calon manusia unggul yang siap hidup ditengah masyarakat global yang ditandai kemajuan iptek, kalau tidak unggul, maka akan mengurangi nilai ibadah, atau bahkan dapat jatuh menjadi perbuatan dosa karena menelantarkan anak didik yang telah diamanatkan oleh masyarakat untuk di didik secara baik (Abdul Aziz : 2005), dan ini menjadi nilai moral bagi pendirian madrasah.

 

E. Paradigma baru Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan alternatif

 

         Menjadikan pendidikan pada madrasah sebagai salah satu pendidikan alternatif di masa depan tentu memerlukan paradigma-paradigma baru untuk meningkatkan kualitasnya. Terlepas dari perdebatan apakah pendidikan agama dimasukan ke dalam bidang agama atau bidang pendidikan. Yang jelas harus dilakukan adalah melihat realitas madrasah sebagai “instrumen pendidikan”. Berdasarkan tantangan yang sedang dan yang akan dihadapi maka madrasah perlu berbenah dengan menata kembali sistem pendidikannya sesuai dengan tuntutan dari tantangan tersebut. Malik Fajar merumuskan pendidikan Islam dapat menjadi alternatif apabila memenuhi empat tuntutan sebagai berikut :

1.    Kejelasan cita-cita dengan langkah-langkah yang oprasional di dalam usaha mewujudkan  cita-cita pendidikan Islam.

2.    Memberdayakan kelembagaan dengan menata kembali sistemnya.

3.    Meningkatkan dan memperbaiki manajemen.

4.    Peningkatan mutu sumberdaya manusia. (Malik Fajar, 1998 : 13)

Pemikiran di atas di kemas lebih spesifik lagi H.A.R Tilaar dengan melihat kekuatan madrasah yang bersumber dari masyarakat dan kelemahan madrasah yang dianggapnya cendrung kepada ortodoksi, maka menurutnya pengelolaan pendidikan Islam di prioritaskan pada empat bidang yaitu , (1) peningkatan mutu, (2) pengembangan inovasi dan kreativitas, (3) membangun jaringan kerjasama (Networking), dan (4) pelaksanaan otonomi daerah.(Tilaar, 2004 : 152- 155). Dari pemikiran ini dan perubahan struktur kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk mewujudkan masyarakat madani, maka paradigma yang harus dipenuhi dalam meningkatkan mutu pendidikan madrasah sebagai berikut :

 

1. Mempertegas visi, misi, orientasi, tujuan, dan strategi mencapai cita-cita pendidikan Madrasah

 

         Saat ini perlu penegasan visi pendidikan madrasah sehingga tidak tergoda oleh tarikan-tarikan ekstrem, tetapi mampu mengelola bebagai kecendrungan dengan tuntas yang tersedia secara reponsif dan tuntas. Visi itu ditempatkan sebagai pemandu yang menjamin konsistensi pendidikan Islam dalam konteks perubahan dan dinamika yang terjadi dalam dirinya secara terus menerus. Kerangkanya harus dibangun dengan mempertimbangkan sumber nilai/ajaran Islam, karekter sejarah pendidikan Islam, dan dirumusan tantangan masa depan. Dengan kata lain, visi pendidikan madrasah masa depan adalah terciiptanya pendidikan Islami, populis, berorientasi mutu, dan kebhinekaan.(Husni Rahim :  2002). Sedangkan menurut Prof Azyumardi Azra, menekankan bahwa perubahan bentuk dan isi pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan zaman. Bagi Azyumardi, lembaga pendidikan Islam harus memiliki visi keislaman, kemodernan dan kemanusiaan agar compatible dengan perkembangan zaman.(Ulil Abshor : 2002),

         Dari kedua pernyataan tersebut bahwa madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam harus memiliki ketegasan dan kejelasan visi, yaitu keislaman karena bersumber dan mengembankan, serta mewariskan nilai-nilai dalam Islam, populis dan kemodernan , karena harus dikenal dan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, kemanusiaan, karena Islam memiliki ajaran yang rahmatan lil’alamin, keindonesiaan, karena madrasah adalah salah satu komponen dari sistem pendidikan nasional, dan berorientasi pada mutu, karena era global dipenuhi oleh kompetitif yang professional dan berkualitas.

          Visi tersebut kemudian dijabarkan kedalam kegiatan-kegiatan atau program-program yang harus dilakukan sebagai misi madrasah, dan karakter Islami merupakan identitas utama  yang tercermin dalam kurikulum dan proses pendidikan. Orientasi dimaksudkan adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan tantangan dan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri khas yang dimiliki.

         Penyelenggaraan pendidikan madrasah juga harus merumuskan tujuan yang hendak dicapai, baik tujuan yang paling dekat, kecil, dan praktis maupun tujuan yang paling mendasar, filosofis, dan makro harus dirumuskan dengan bahasa yang sederhana dan jelas. Sedang strategi disusun untuk pencapaian tujuan pendidikan yang mudah dipahami, diikuti, dan dikembangkan oleh para petugas sesuai dengan posisi dan peran serta tanggungjawab masing-masing. (Mastuhu, 2003 : 69)

 

2. Demokrasi pendidikan Madrasah

        madrasah harus mengembangkan sistem pendidikan yang lebih otonom dan beragam. Masyarakat demokratis memiliki daya partisipasi yang kuat khususnya dalam pengawasan mutu pendidikan, dimana menuntut pengelolaan pendidikan yang transparan dan bertanggung jawab. Termasuk juga tuntutan akan demokratisasi terhadap paradigma pendidikan yang lebih menekankan pada peran siswa secara aktif. Dengan demikian madrasah harus melakukan proses pendidikan yang menjadikan berkembangnya anak didik sebagai human being, artinya tidak menciptakan manusia yang hanya menerima petunjuk dari atas, tetapi pendidkan yang mengembangkan pribadi-pribadi yang kreatif, kritis, dan produktif.

 

 3. Paradigma otonomi       

           Otonomi pendidikan memberikan kesempatan luas bagi madrasah menuju kemandiriannya dan keberdayaannya dalam bingkai keislaman dan kemasyarakatan. Ada beberapa hal dapat dilakukan madrasah. Pertama, mengakomodasi berbagai masukan dan kritikan dari stakeholders, sekaligus memberikan kepercayaan kepada mereka untuk berpatisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan madrasah. Kedua, madrasah hendaknya menjadi lembaga inklusif dan universal yang mampu keluar dari jebakan-jebakan dikotomis yang selama ini melingkupi, dan ketiga, madrasah harus menjadi lembaga yang reponsif terhadap berbagai perubahan dan kebutuhan masyarakat, khususnya dunia kerja.

 

4. Akuntabilitas

        Untuk meningkatkan kualitas madrasah usaha yang efektif adalah dengan peningkatan akuntabilitas proses pendidikan, yang di kembangkan sebagai berikut :

a. Lebih pada kegiatan belajar dari pada mengajar pada setiap tingkatan madrasah.

b. Orientasi pelatihan guru pada kemampuan memfasilitasi proses belajar daripada mengajar.

c. menerapkan pengembangan kurikulum secara komprehensip.

d. mengembangkan sistem penilaian menyeluruh terhadap proses pendidikan.

e. menerapkan manajemen sistem pendidikan.

f. mengembangkan manajemen berbasis pada masyarakat dan berbasis madrasah (school base management). Sehingga program dan proses pendidikan dapat berlangsung dan memenuhi kepuasan pelanggan.

 

4. Profesionalisme

         Profesionalisme adalah aspek penting lainnya untuk menentukan kualitas pendidikan. Selama ini madrasah belum sepenuhnya menempatkan para profesionalisme secara memadai untuk menunjang kegiatannya. Dengan kata lain, para personil madrasah yang professional merupakan tumpuan keberhasilan suatu sistem yang berkualitas belum diperhatikan secara optimal.

       Professional madrasah terletak pada 1). Kepala sekolah sebagai personil yang memiliki posuisi strategis dalam meningkatkan kualitas madrasah.. Oleh karena itu penunjukan kepala madrasah harus melalui seleksi yang ketat, selain itu professional diartikan juga sesuatu yang memberikan keuntungan dalam bidamng materi. Tanpa harus mengorbankan semangat iklas beramal (semboyan DEPAG) dan jiwa pengabdian., sudah waktunya sistem dan lembaga pendidikan Islam , khususnya madrasah dikelola secarta professional, bukan hanya dalam soal penggajian, pemberian honor, tunjangan atau pengelolaan administrasi dan keuanagan. 2) Guru sebagai penanggung jawab utama perlu diperhatikan yang sungguh-sungguh, karena disadari penentu keberhasilan suatu pelaksanaan pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran di madrasah lebih banyak bertumpu pada mmenejemen guru. Sehingga berbagai aspek yang berkaitan dengan guru perlu diperhatikan, baik aspek rekrutmen, pelatihan perkembangan karir, dan peningkatan insentif. Dalam hal rekrutmen, hendaknya dapat memilih guru yang interdisipliner dengan latar belakang ilmu yabng sesuai dengan bidang studi yang diajarkan. Sehingga diharapkan tidak ada lagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Professional isme mutlak pula diwujudkan dalam perenacanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum, dan pelaksanaan pendidikan Islam itu sendiri. (Azra , 1999 : 60)

 

5. Pendanaan Madrasah

        Berkaitan dengan lemahnya sector pendanaan pendidikan laporan komnas pendidikan menyebutkan bahwa salah satu kelemahan sistem pendidikan di Indonesia adalah belum dirumuskannya pola dan mekanisme pendanaan pendidikan yang memadai. Penerapan mekanisme pendanaan terpusat selama ini ternyata diwarnai dengan maraknya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tidak neran kalau bocornya anggaran pendidikan juga mengakibatkan semakin rendahnya kualitas pendidkan termasuk madarsah.

         Berkenaan dengan pendanaan madrasah , maka perlu upaya sistematis dan terprogram untuk memperjuangkan anggaran pendidikan lebih besar dari pada keadaan sekarang. Sehingga biaya bagi peningkatan kualitas madrasah dapat ditanggulangi. Secara makro perlu trobosan dari pihak DEPAG untuk meningkatkan anggaran baik dari APBN dan APBD maupun dari sumbar – sumber lainnya. Sedangkan secara mikro misalnya, perlu penerapan manajemen madrasah yang berbasis masyarakat (community base education), guna menjalin dukungan finansial masyarakt (stakeholders) sebagai pemilik sesungguhnya madrasah.

 

6. Penerapan Model Community Base Education

          Perbaikan madrasah tidak bisa dicapai jika tidak ada kerjadsama, terutama dilkalangan stakeholders madrasah. Maasyarakat luas, seperti pemikir dan praktisi pendidikan, pengelola, dan pelaksana dilapangan, orang tua murid, pemerintah, penghasil dan pengguna jasa pendidikan, harus bahui membahu memberikan perhatian seoptimal mungkin pada pengelolaan madrasah.

         Model manajemen berbasis madrasah (MBM) mengenal organisasi yang disebut dengan dewan Madarsah/ komite madrasah. Kebradaan dewan madrasah diharapkan menjadi lembaga pemegang otoroitas pendidikan di era otominisasi ini. Dewan madrasah beranggotakan kepala madrasah , guru, orangtua murid, masyarakat, dan birokrat yang membidangi pendidikan , berperan dalam meningkatkan kualitas madrasah. Banyak hal seperti pemakaian dana, penggalanagn dana, pemecahan berbagai masalah yang dihadapi madrasah, pemilihan buku-buku pelajaran yang bermutu dan cocok di suatu madrasah dan kebijakan-kebijakan strategis madrasah.

       Menurut sudiono (2001), ada sembilan aspek yang dapat dikerjakan madarsah dalam kerangka MBM yaitu : 1) perencanaan dan evaluasi program sekolah, 2) pengelolaan kurikulum, 3) pengelolaan proses belajhar mengajar, 4) pengelolaan ketenagaan, 5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, 6) pengelolaan keuangan, 7) pelayanan siswa , 8) hubungan sekolah dengan masyarakt, dan 9) pengelolaan iklim sekolah.

       Menejemen berbasis madrasah sebagai alternatif pengelolaan pendidikan di era otominisasi  pendidikan, mengutamakan independensi daerah dalam mengelola pendidkan sesuai dengan kemmapuan dan kebutuhan daerah. Independensi itu, menurut Arief Rahman antara lain :

  1. independensi konsep, misalnya dalam hal standarusasi keberhasilan pendidikan selama ini dalam merumuskan visi dan misi pendidikan masih sangat normatif, sehingga sulit dibahas secara kontekstual dan tidak dapat diukur. Sabagai contoh perumusan visi dan misi madrsah dalam membentuk peserta didik yang berakhlaq karimah, insane kamil yang berkualitas dan memiliki skill, perlu dirumuskan lebih singkat dan lebih dapat diukur, karena peruimusan visi dan misi, menurut komaruddin Hidayat, tidak diukur dan hasilnya sulit untuk dievalusi.
  2. independensi materi yang menunjang konsep. Hal ini dimaksudkan supaya daerah dapat mengembangkan materi kurikulum sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya daerah pegunungan dengan daerah pantai memiliki kebutuhan SDM yang berbeda. Sehungga dapat dengan efektif mengembangkan potensi daerah.
  3. independensi support system, bertanggungjawab sensiri menopang kebutuhan penyelenggara pendidikan, seperti kesejahteraan, fasilitas, proses belajar mengajar, hendaknya berbasis pada tanggung jawab masyarakat.
  4. independensi manajerial,. Visi selalu menjadi landasan dalam menentukan setiap keputusan atau kebijakan yang akan diambil. Sehubungan dengan idependensi manejerial ini, dibutuhkan adanya perubahan dari manajemen kultur parental manjadi manajemen yang berkultur demokratis, khususnya dalam kontek hubungan antara pusat dan daerah. Untuk mengantisipasi kondisi itu harus dibuat tata tertib yang jelas. Sejauh ini daya responsive pemerintah daerah dituntut mengeluarkan kebijakan antisipatif untuk sistem pengelolaan pendidikan di daerah

          Dengan demikian, pembinaan terhadap kemampuan daerah agar mampu mengelola pendidikan di daerahnya masing-masing termasuk juga penyiapan SDM menjadi persyaratan mutlak untuk terwujudnya kualitas pendidikan, khususnya madrasah di era otonomisasi pendidika. Melalui dewan madrasah (sekolah) diharapkan peran serta masyarakat dapat di manage dengan baik. Sehingga masyrakat dapat memahami, mengawasi dan membantu sekolah dalam proses peningkatan kualityas pengelolaan madrasah termasuk juaga kualitas dalam proses belajar mengajar, dan akhirnya melahirkan kualitas in put dan out come madarasah.

 

 

7. Membangun Jaringan (Networking)

          Dalam zaman modern mendatang, penyelenggaraan pendidikan tidak hanya cukup dengan memiliki dana dan sarana, tetapi para penyelenggara pendidikan dituntut mampu bekerja sama dalam jaringan, yaitu bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memanfaatkan berbagai sumber kekuatan dan peluang pendidikan. (Mastuhu, 2003 : 123). Disamping itu yang perlu sekali adalah membangun jaringan kerjasama antar madrasah-madrasah baik negeri maupu swasta yang lebih baik (kalau sekarang dalam bentuk MKKM dan KKM), yang lebih berorientasi pada mutu dan professional pengelolaan madrasah. Dan “dengan networking tersebut juga dapat dibangun suatu educational management information system (EMIS) yang sangat berguna di dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber belajar sehingga sumber-sumber tersebut dapat bermanfaat secara optimal.”(Tilaar, 2004 : 157) 

 

 

 

 

 

                                            

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

F. Kesimpulan

            Fenomena madrasah sebagai salah satu institusi pendidikan dalam system pendidikan nasional terselubungi oleh berbagai problematic baik dari segi kelembagaan, manajemen, dana dan kualitas. Dari persepsi masyarakat kebanyakan memandangan madrasah sebagai sebuah pendidikan kelas dua, padahal persepsi ini tak layak lagi karena paling tidak dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa ini madrasah telah banyak melahirkan generasi tangguh yang menjadi pelopor dan revolusiner pada masa-masa bangsa ini merebut serta mengisi kemerdekaan.

          Sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia atas dasar uraian didalam makalah ini didorong oleh factor ekternal dan internal, dari factor ekternal dipengaruhi oleh perkembangan system pendidikan madrasah yang berkembang di Timur tengah, yang diiringi oleh kegiatan gerakan pembaharuan (modernisasi) dari berbagai gerakan-gerakan keagamaan. Pengaruh ini dibawa oleh generasi muslim Indonesia yang belajar di Timur Tengah yang akhir memunculkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Secara internal munculnya madrasah didorong oleh perkembangan system pendidikan kolonial yang diadakan oleh Belanda, system pendidikan ini dianggap tidak memenuhi kebutuhan untuk perkembangan intelektual generasi muslim, karena sifat yang sekuler di samping memperlakukan kesempatan kepada generasi muslim Indonesia secara tidak adil. Factor internal lain dikarenakan system pendidikan tradisional Islam seperti surau, pesantren, dan kelompok pengajian dirasakan belum systematic sehingga perlu diadakan pembahruan dalam sistemnya.

Dengan melihat beberapa perkembangan madrasah dalam sistem pendidikan di Indonesia, pertama, posisi madrasah yang termajinalisasi diakibatkan dari sifatnya yang dianggap tradisonal dari aspek kurikulum dan sistem penyelenggaraan sehingga perlu penyesuaian dengan sistem pendidikan nasional, dapat pula didentifikasi sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan pemerintah (bahkan cendrung diskriminatif dan hingga saat ini dirasakan oleh madrasah), yang menurut Nurhayati Djamas (2005) diakibatkan dari persoalan “psiko politik” dimana kebijakan (Orde Baru) yang memarginalkan kelompok Islam politik didalam mainsream politik nasional (terutama pada fase awal) yang melahirkan frustasi dan kecurigaan adanya pengaruh politik yang kuat dari kelompok “nasionalis sekuler”. Kedua, pendidikan Islam dalam hal ini madrasah merupakan ciri khas dari lembaga pendidikan persekolahan umum yang diselenggarakan oleh Departemen Agama, dan oleh organisasi dan yayasan sosial keagamaan Islam. Ketiga, madrasah merupakan lembaga pendidikan di Indonesia yang memiliki basis kemasyarakatan yang kuat terutama di pedesaan, walaupun demikian ini berarti madrasah sangat berpotensi dapat berkembang lebih mandiri (otonom) melalui swadana  kemasyarakatannya (atau katakanlah sebagai pondasi yang menguatkan madrasah untuk dapat lebih maju secara idealnya).

Tantangan yang dihadapai oleh madrasah meliputi tanyangan eksternal yaitu globalisasi, demokatisasi, otonomisasi, Ilmu pengetahuan dan teknologi, dan Sospolbud. Secara internal, dunia pendidikan Islam mengahadapi problem pokok yang cukup mendasar, yang sangat sering didengar masalah kualitas SDM, kelengkapan sarana-prasarana, pendanaan, kurikulum, proses belajar mengajar, menajemen pengelolaan, dan kebijakan pendidikan terhadapnya.

Madrasah memiliki prospek masa depan yang cerah dilihat dari sisi normatif keagamaan yaitu agama Islam, prediksi trend masa depan abad 21, pertumbuhan madrsah, dan jumlah partisipasi peserta didik.

Beberapa paradigma yang ditawarkan untuk peningkatan mutu madrasah agar menjadi pendidikan alternatif masa depan adalah dengan, mempertegas visi,misi, orientasi, tujuan, strategi sesuai dengan cita-cita lembaga, dokratisasi, atonomisasi atau desentralisasi, akuntabilitas proses, pendadaan, profesionalitas, community base education, dan kerja jaringan.

 

 

 

 

      

 

 

      

       

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul, Kesetaraan Status dan Masalah Mutu Lulusan Madrasah, Edukasi, Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2005

 

Abdillah, Maskuri, DR, Pesantren Dalam Konteks Pendidikan Nasional dan Pengembangan Masyarakat, (dalam Pendidikan untuk masyarakat Indonesia baru), Ikhwanuddin dan Dodo Murtadlo (editor), Jakarta, PT Grasindo, 2002

 

Amir, Feisal Jusuf, Kebijakan pendidikan Nasional Menghadapi Tantangan Global, (dalam Pendidikan untuk masyarakat Indonesia baru), Ikhwanuddin dan Dodo Murtadlo (editor), Jakarta, PT Grasindo, 2002

 

Azyumardi Azra,  Pendidikan Islam :Tradisi dan Modernisasi Meniju Melinium Baru, , Jakarta, PT Logos Wacana Ilmu, 2000

 

_____________,  Paradigma Baru Pendidikan Nasional ,Jakarta, Kompas, 2002

 

Asrohah, Hanun, Sejatrah Pendidikan Islam, Jakarta, Logos, 1998

 

Djamas, Nurhayati, Posisi Madrasah di tengah perubahan Sistem Pendidikan Islam, Edukasi, Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2005

 

Departemen Agama RI, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Dirjen BINBAGA Islam.

 

Fajar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung, Mizan, 1998

 

Hawi, Akmal, Tantangan Lembaga Pendidikan Islam, Conciencia jurnal pendidikan, No. 2, Volume. !, Desember 2001

 

HS, Mastuki, Asal Usul Madrasah, Artikel dari data internet dalam www. Bagais.co.id

 

Mudjahid, Madrasah Belum Siap Mandiri, Majalah Ikhlas Beramal, No. 15 Tahun III. Desember 2000.

 

Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta, Safria Insania Press, 2003

 

Rahim, Husni, DR, Pendidikan Islam Di Indonesia Keluar Dari Eksklusivisme, (dalam Pendidikan untuk masyarakat Indonesia baru), Ikhwanuddin dan Dodo Murtadlo (editor), Jakarta, PT Grasindo, 2002

 

Rahim, Husni, Arah baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, PT Logos Wacana Ilmu, 2001

 

Redaksi Inovasi, Strategi Baru Untuk Problema Klise, Jurnal Inovasi, Edisi 2, Tahun 2003

 

Rafiq, Ahmad, Otonomi Pendidikan Tidak banyak Pengaruh Bagi Madrasah, Inovasi Kurikulum, Edisi II, Tahun 2003

 

Suparyogo, Imam, Madrasah dan Masalah Jati Diri Pendidikan Islam, Edukasi, Vol. 3, Nomer 1, Januari – Maret 2005

 

Sudiono. Strategi Sukses Implementasi MBS, Kompas tanggal 27 Juli 2001 (Internet)

 

Ta’rifin, Ahmad, Reposisi Madrasah di Era Otonomi Pendidikan, Inovasi Kurikulum, Edisi II, Tahun 2003

 

Tilaar, H.A.R, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2004

 

___________, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2002

 

Ulil Abshor, Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran, Hasil wawncara dengan Prof.DR. Azyumardi Azra oleh KIUK, yang disiarkan jaringan Radio 68 Hz, Kamis, 25 Juli 2002

 

Zuhal, Prof. Ir. M.Sc. EE, Kerjasama Di Bidang Pendidikan, Sains dan Teknologi Sebagai Pilar Penyanggah Persahabatan Indonesia – Jepang, makalah yang disampaikan pada FLS yang diselenggarakan oleh Tha Japan Fondation dengan Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakrta, 26 Januari 2005.